TRIBUNJOGJA.COM, KULON PROGO - Angka kematian penderita penyakit leptospirosis di Kulon Progo selama 2018 masih cukup tinggi sekalipun jumlah kasusnya menurun drastis.
Masyarakat diminta lebih sadar kebersihan diri dan lingkungan.
Dinas Kesehatan Kulon Progo mencatat sepanjang 2018 ada 26 orang usia 15 tahun ke atas yang terjangkit leptospirosis yang tersebar di berbagai wilayah kecamatan.
Jauh menurun dibanding 2017 yang ada 77 kasus.
Angka kematian akibat penyakit yang disebabkan oleh bakteri leptospira itu pada 2018 mencapai lima orang sedangkan di 2017 ada sembilan orang.
"Tingkat fatalitasnya masih cukup tinggi meski secara kasus jumlahnya menurun," kata Kepala bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Dinas Kesehatan Kulon Progo, Baning Rahayujati, Senin (7/1/2019).
Baca: Musim Pancaroba, Waspadai Demam Berdarah dan Leptospirosis
Leptospirosis merupakan penyakit yang disebarkan melalui urine atau darah hewan yang terinfeksi bakteri ini.
Beberapa jenis hewan yang dapat menjadi pembawa penyakit ini adalah anjing, hewan pengerat seperti tikus, dan kelompok hewan ternak seperti sapi atau babi.
Penularan kepada manusia bisa melalui jaringan kulit yang terbuka karena luka maupun membran mukosa pada mulut dan hidung.
Dalam kebanyakan kasus yang berujung kematian, penderita terlambat ditangani dengan kondisi ginjal yang sudah rusak akut oleh serangan bakteri sehingga pengobatan pun tidak banyak membantu.
Penyakit ini memiliki gejala awal berupa demam dan nyeri betis yang muncul dalam beberapa hari setelah terjangkit bakteri dan cenderung disepelekan penderita.
Padahal, ginjal mulai diserang bakteri pada kurun 3-5 hari setelah demam dan nyeri terjadi sedangkan kebanyakan kasus kematian itu terjadi pada hari kelima.
"Umumnya mereka beranggapan itu hanya demam dan nyeri biasa. Jika langsung ditangani dengan suntik antibiootik pun bisa cepat sembuh. Atau, cuci darah bila sudah kena ginjal. Namun, kalau terlambat diobati bisa fatal," kata Baning.
Baca: Kurang Proteksi Diri, Rawan Terjangkit Leptospirosis
Maka itu, pihaknya mengimbau kepada masyarakat untuk segera memeriksakan diri ke dokter jika mulai merasakan gejala penyakit tersebut.
Juga, meminimalkan kontak langsung dengan hewan penjangkit maupun air kencingnya.
Kebanyakan penderita memang cenderung terjangkit bakteri pada lingkungan persawahan dan kebun yakni para petani dan pencari rumput.
Penderita tak hanya berasal dari daerah yang terdapat banyak sawah melainkan juga wilayah pegunungan dan hutan.
Lingkup lingkungan itu memungkinkan penderita terpapar atau menyentuh air kencing hewan penular, terutama tikus.
"karena ini termasuk penyakit yang berpotensi Kejadian Luar Biasa (KLB) sesuai peraturan menteri, maka ketika ada temuan loangsung kami lakukan penyelidikan epidemologi. Kami juga terus melakukan penyuluhan kepada masyarakat melalui puskesmas," kata dia.
Kepala Dinkes Kulon Progo, Bambang Haryatno mengimbau masyarakat untuk tetap menjaga kondisi badan tetap fit serta menerapkan pola hidup bersih dan sehat.
Ini menjadi cara terampuh untuk mnghindar dari penyakit, terutama saat musim hujan.
Kewaspadaan terhadap penularan penyakit seperti demam berdarah dengue (DBD) juga perlu ditingkatkan.
Terutama membasmi sarang nyamuk.
"Gerakan jumat bersih perlu terus digalakkan," kata Bambang.(TRIBUNJOGJA.COM)