Yogyakarta

Upah Minimum Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Rendah, Idealnya Rp2,5 Juta

Penulis: Agung Ismiyanto
Editor: Iwan Al Khasni
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ratusan buruh memperingati Hari Buruh di kawasan Malioboro, Yogyakarta, Selasa (1/5/2018).

Sekretaris Jendral (Sekjend) Aliansi Buruh Yogyakarta (ABY), Kirnadi menjelaskan, UMP di DIY menjadi salah satu penyumbang kemiskinan, hal ini karena rendahnya UMP UMR
se Indonesia. "Ini menyebabkan timbulnya kemiskinan struktural."katanya.

Dari survei kebutuhan hidup layak dengan 60 item pertanyaan yang diajukan ABY, rata-rata berada di atas Rp 2 juta.

Di Kota Yogyakarta, KHL mencapai hampir Rp 2,7 juta, untuk Bantul Rp 2,6 juta. “Range UMP yang paling ideal bagi pekerja di DIY ya berada di Rp 2,5 juta sampai 3
juta,” jelasnya.

Pemerintah harus memiliki good will untuk menyelesaikan persoalan upah ini. Pemerintah diminta untuk melakukan intervensi agar kebijakan upah murah dan terendah di
Indonesia ini tidak semakin membuat warganya terpuruk dalam kemiskinan.

Untuk itu, perlu ada peningkatan UMP, salah satu caranya adalah Gubernur harus menerapkan upah minimum sektoral.

Selain tiu, harus ada review atau survei ulang untuk menilai hidup layak. ABY menyoroti beberapa survei yang dilaksanakan oleh dewan pengupahan yang sangat tidak masuk
akal dan memperlihatkan rendahnya kebutuhan hidup layak di Yogyakarta.

Dia mencontohkan, potret upah pekerja di Sleman yang merupakan perbatasan Klaten dan Magelang ini cukup memprihatinkan. Dari sisi ukuran indeks pembangunan manusianya,
produktivitas, nilai investasi tinggi di Sleman. Hanya, faktanya upah pekerja jauh lebih rendah.

“Selama ini tidak ada good will dari pemda DIY khususnya Gubernur untuk upah layak dan masih terkungkung normatif hukum. Ada diskresi terkait upah ini,” jelasnya.

Sekretaris Daerah (Sekda) DIY, Gatot Saptadi, mengatakan, menaikkan atau menurunkan UMP harus selalu berpegang pada regulasi. Selain itu, harus melihat tiga hal
penting sebelum menaikkan atau menurunkan UMP suatu daerah.

Buruh Gendong Pasar Beringharjo (TRIBUNJOGJA/Bramasto Adhy)

“Ada tiga hal yang harus dilihat dalam menaikkan atau menurunkan UMP, yakni melihat pertumbuhan ekonomi, kebutuhan hidup layak dan inflasi. Undang-undangnya bilang
seperti itu,” kata Gatot

Menurutnya, UMP memang menjadi salah satu komponen dalam kemiskinan itu. Salah satu upaya untuk menanggulangi kemiskinan, secara logikanya memang harus menaikkan UMP.
Namun, berbicara UMP ini memang harus melihat regulasinya.

Pemerintah Provinsi DIY, kata Gatot sebenarnya menginginkan adanya kenaikan UMP. Namun, hal ini perlu ada kajian dan juga pertemuan tripartit antara pengusaha,
pemerintah dan pekerja. Hal ini karena ada beragam kepentingan dalam kenaikan UMP ini.

“Saya inginnya naik, tetapi bukan Pemda yang bayari dan itu pengusaha, jadi harus ada pembicaraan tripartit,” ulasnya.

Di satu sisi, buruh punya kepentingan untuk kenaikan upah. Sementara, pengusaha berpikiran kenaikan upah akan mengganggu produksi. “Maka, kenaikan UMP ini harus tetap
berpegangan dengan regulasi,” urainya. (TRIBUNjogja.com | Agung Ismianto)

Berita Terkini