Mengapa 24 Juli Jadi Hari Kebaya Nasional? Ini Sejarah, Arti Budaya, dan Asal Usulnya

Tanggal ini merujuk pada momen bersejarah Kongres Wanita Indonesia (KWI) ke-10 pada 1964.

pixabay
Mengapa 24 Juli Jadi Hari Kebaya Nasional? Ini Sejarah, Arti Budaya, dan Asal Usulnya 

TRIBUNJOGJA.COM - Setiap tanggal 24 Juli, Indonesia memperingati Hari Kebaya Nasional sebuah momentum yang lebih dari sekadar selebrasi busana tradisional. 

Ini adalah perayaan identitas, warisan budaya, serta penghormatan terhadap peran perempuan dalam sejarah bangsa. 

Di balik keindahan sehelai kain kebaya, tersimpan narasi panjang tentang perjuangan, keanggunan, dan kebanggaan Nusantara.

Penetapan Hari Kebaya Nasional secara resmi tertuang dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2023, yang diteken langsung oleh Presiden Joko Widodo. 

Tanggal 24 Juli dipilih bukan tanpa alasan. Tanggal ini merujuk pada momen bersejarah Kongres Wanita Indonesia (KWI) ke-10 pada 1964, di mana seluruh peserta kongres mengenakan kebaya sebagai bentuk penghormatan kepada Ibu Negara Fatmawati Soekarno sosok ikonik yang dikenal anggun dan teguh dalam balutan kebaya.

Dalam pidatonya kala itu, Presiden Soekarno menyampaikan pernyataan penting: “Revolusi Indonesia tidak dapat berjalan tanpa peran perempuan.” 

Pidato tersebut menjadi tonggak penting yang merekam bagaimana perempuan dan kebaya tak terpisahkan dalam perjalanan sejarah Indonesia.

Peringatan perdana Hari Kebaya Nasional kemudian diselenggarakan secara masif pada 24 Juli 2024 di Istora Senayan, Jakarta. Acara ini dihadiri langsung oleh Presiden Jokowi, Ibu Negara Iriana, serta lebih dari 9.000 perempuan dari seluruh penjuru Indonesia. 

Baca juga: Bangga Berkebaya, Ribuan Orang Rayakan Hari Kebaya Nasional Bersama Giwo Rubianto

Mengusung tema “Lestarikan Kebaya, dengan Bangga Berkebaya”, momen ini menegaskan bahwa kebaya bukan hanya simbol masa lalu, tapi juga identitas masa kini dan masa depan.

Sejarah Kebaya, Jenis dan Perkembangannya

Dikutip dari buku Chic in Kebaya karya Ria Pentasari dan berbagai sumber sejarah lainnya, kebaya merupakan hasil akulturasi panjang berbagai bangsa yang pernah bersinggungan dengan Nusantara.

Kata "kebaya" dipercaya berasal dari berbagai bahasa asing yang masuk melalui jalur perdagangan dan kolonialisme:

  • Bahasa Arab “kaba”, berarti pakaian.
  • Bahasa Portugis yang berarti “caba” atau “cabaya”, merujuk pada tunik atau baju panjang.
  • Bahasa Tionghoa, terutama dari komunitas peranakan yang tinggal di pesisir Nusantara, juga memengaruhi gaya kebaya, terutama kebaya encim.

Jejak kebaya pertama kali muncul di Indonesia pada abad ke-15 hingga ke-16, pada masa Kerajaan Majapahit dan berkembang lebih luas saat masa Kesultanan Mataram dan kerajaan-kerajaan Islam lainnya.

Pada masa Kerajaan Majapahit (1293–1527), perempuan umumnya menggunakan kain panjang penutup tubuh bagian bawah yang dipadukan dengan kemben (penutup dada) atau selendang. 

Kebaya belum hadir dalam bentuk modern, tetapi bentuk awal busana atasan tertutup mulai dikenakan kalangan bangsawan perempuan Jawa dan Bali.

Kebaya seperti yang kita kenal sekarang mulai mengambil bentuk pada era kerajaan-kerajaan Islam, terutama Kesultanan Mataram, di mana perempuan bangsawan mengenakan baju atasan panjang berlengan panjang, menyerupai bentuk tunik. 

Pada abad ke-17, kebaya dikenakan secara resmi oleh keluarga kerajaan, tercatat dalam dokumen kerajaan Cirebon, Surakarta, dan Yogyakarta. 

Di masa R.A. Kartini, kebaya dikenakan oleh perempuan pribumi, dan bahkan diadopsi pula oleh perempuan Belanda.

Bentuk ini diyakini sebagai pengaruh busana Timur Tengah yang lebih tertutup.

Masuknya pengaruh asing melalui pelabuhan-pelabuhan penting seperti Batavia (Jakarta), Semarang, dan Surabaya semakin memperkaya bentuk dan estetika kebaya:

1. Kebaya Encim / Peranakan

Tumbuh di komunitas Tionghoa-Indonesia (Peranakan), kebaya encim dikenal dengan bahan tipis (biasanya voile), bordiran halus, dan warna-warna cerah. Umumnya dipakai dengan sarung batik pesisir.

2. Kebaya Kartini

Dikenakan oleh R.A. Kartini dan kalangan bangsawan Jawa, kebaya ini menampilkan kesederhanaan dan keluhuran budi. Modelnya sederhana, panjang, dengan siluet lurus, dan tidak banyak hiasan.

3. Pengaruh Belanda dan Eropa

Pada masa kolonial, kebaya menjadi busana resmi perempuan Indo-Eropa dan pribumi kelas atas.

Para nyonya Belanda mengadaptasi kebaya sebagai baju harian, dipadukan dengan batik atau kain tenun.

Mereka mempopulerkan bahan transparan dan bordir Eropa, sehingga muncul variasi kebaya bordir tangan (kerancang), renda, dan penggunaan bros emas di dada.

Memasuki abad ke-20, kebaya tidak hanya menjadi pakaian, tapi juga simbol perjuangan perempuan Indonesia. 

Tokoh-tokoh seperti Fatmawati Soekarno (penjahit bendera Merah Putih pertama) tampil dalam kebaya dalam setiap momen kenegaraan.

Demikian pula Megawati Soekarnoputri, Ibu Tien Soeharto, hingga Ibu Ani Yudhoyono menjadikan kebaya sebagai busana kenegaraan.

Di masa inilah muncul gaya Kebaya Kutubaru, yang ditandai dengan tambahan “panel” di bagian tengah dada, menyerupai bentuk baju kurung, dan dipadukan dengan selendang di bahu. Gaya ini mencerminkan adat Jawa klasik yang kuat.

Kini, kebaya mengalami transformasi menjadi lebih fleksibel dan fashionable. 

Desainer modern seperti Anne Avantie, Ivan Gunawan, dan Didiet Maulana telah mengembangkan kebaya menjadi busana kontemporer yang bisa dikenakan di berbagai acara dari wisuda, pernikahan, hingga pemotretan editorial.

Tren seperti kebaya kasual, kebaya modifikasi, dan gerakan Selasa Berkebaya memperlihatkan bahwa kebaya tidak lagi terkungkung oleh momen formal. 

Anak muda kini menjadikan kebaya sebagai bagian dari ekspresi gaya hidup, dengan tetap menghormati nilai-nilai tradisi.

Pengakuan UNESCO dan Diplomasi Budaya

Perjalanan panjang kebaya mencapai panggung dunia pada 4 Desember 2024, ketika UNESCO menetapkan kebaya sebagai Warisan Budaya Takbenda. 

Pengakuan ini lahir dari kerja sama lima negara Asia Tenggara: Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, dan Brunei Darussalam.

Indonesia mengajukan kebaya kerancang Jakarta sebagai representasi. Pengusulan ini dipelopori oleh Perempuan Berkebaya Indonesia (PBI) sejak 2017, melalui gerakan “1.000 Perempuan Berkebaya” dan Kongres Berkebaya Nasional 2021.

Ketua Umum PBI, Rahmi Hidayati, menyebut pengakuan ini sebagai "buah dari perjuangan panjang untuk memperlihatkan bahwa kebaya bukan sekadar busana, melainkan identitas budaya perempuan Nusantara."

Jadi, di balik sehelai kebaya, tersimpan sejarah, cinta, dan kekuatan perempuan Indonesia. Selamat Hari Kebaya Nasional. Lestarikan warisannya, banggakan jati dirinya.

( Tribunjogja.com / Bunga Kartikasari )

 

 

 

Sumber: Tribun Jogja
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved