Tarif Impor 19 Persen Berpotensi Menggerus Daya Saing Sektor Manufaktur Kecil Dalam Negeri
Kesepakatan tarif nol persen untuk produk Amerika Serikat ke Indonesia berpotensi menggerus daya saing sektor manufaktur kecil di dalam negeri.
Penulis: Christi Mahatma Wardhani | Editor: Muhammad Fatoni
Laporan Reporter Tribun Jogja, Christi Mahatma Wardhani
TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Pengamat Ekonomi Internasional Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Faris Al-Fadhat, menyebut kesepakatan perdagangan terkait tarif impor 19 persen untuk Indonesia menyimpan risiko besar bagi industri dalam negeri.
Memang tarif impor dipangkas dari 32 persen menjadi 19 persen merupakan perkembangan positif.
Bahkan lebih rendah dibandingkan negara-negara Asia Tenggara lain seperti Malaysia dan Vietnam.
Hal ini membuka peluang ekspor yang harus dimanfaatkan.
Namun, kesepakatan tarif nol persen untuk produk Amerika Serikat ke Indonesia berpotensi menggerus daya saing sektor manufaktur kecil di dalam negeri.
"Secara tidak langsung, kita dipaksa membuka pasar bagi produk Amerika. Ini membuat barang-barang dari sana menjadi jauh lebih kompetitif di pasar kita. Padahal, industri lokal belum tentu mampu bersaing secara harga maupun kualitas," katanya.
Menurut dia, kebijakan ini masih jauh dari prinsip perdagangan yang ideal. Sebab, tidak melalui proses negosiasi yang setara.
Baca juga: API DIY: Lebih Baik Diversifikasi dan Kuatkan Pasar Domestik Ketimbang Terima Tarif Impor 19 Persen
Ia memandang posisi tawar Indonesia yang tidak kuat dan tidak mengacu pada prinsip World Trade Organization (WTO) yang mengatur keadilan antarnegara.
"Kita (Indonesia) mengikuti, buka menegosiasikan. Pemerintah harus mengawal agar dampaknya tidak merugikan berbagai industri dalam negeri," sambungnya.
Faris juga menyoroti perihal klausul mengenai pembelian sekitar 50 unit pesawat Boeing 777 oleh Indonesia.
Ini menunjukkan adanya tekanan ekonomi-politik dalam hubungan dagang tersebut.
Dari perspektif hubungan internasional, ia menilai posisi Indonesia harus cerdas dan mampu menjaga keseimbangan di tengah rivalitas Amerika Serikat dan China.
Jangan sampai keputusan Indonesia untuk terlalu dekat dengan Amerika Serikat justru memicu ketegangan dengan China, begitu pula sebaliknya.
"Sekarang kita lihat bagaimana agresifnya Amerika mendorong negara-negara lain masuk ke kubunya dan mengikuti iramanya. Ini menunjukkan adanya persaingan besar antara Amerika dan China," terangnya.
"Di satu sisi, Amerika ingin menyeimbangkan perdagangan. Di sisi lain, ia juga ingin tetap kompetitif dengan China. Harus diingat, China akan menjadi negara dengan ekonomi terbesar di dunia. Persoalannya hanya tinggal soal waktu. Ini yang coba diantisipasi oleh Amerika. Indonesia harus berada di tengah-tengah itu (Amerika dan China)," pungkasnya. (*)
UMY Gelar Konferensi Internasional ICGP Bahas Isu Green Policy dan Keadilan Sosial |
![]() |
---|
Keberlanjutan Kehidupan Bumi Hingga Teknologi 5.0 Jadi Fokus ISU Para Periset ICoSI dan ICCS UMY |
![]() |
---|
Waspada Burnout! Lingkungan Suportif Bisa Redakan Stres Berlebihan |
![]() |
---|
Ini Penyebab Kredit Perbankan di DIY Melambat Menurut Pengamat Ekonomi UAJY |
![]() |
---|
UMKM Jogja Bidik Pasar Afrika dan Timur Tengah usai Keputusan Tarif Ekspor AS |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.