Perburuan Tikus-tikus Pembawa Bakteri Leptospira di Kota Yogyakarta

penyakit leptospirosis di Kota Yogyakarta sepanjang semester pertama 2025 menunjukkan peningkatan signifikan

Penulis: Azka Ramadhan | Editor: Iwan Al Khasni
via kemkes.go.id
PERANGKAP TIKUS: Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Yogyakarta menyebar 100 unit trap atau perangkap tikus di lingkungan penduduk. Pemasangan perangkap tersebut menyasar rumah-rumah warga di sekitaran pasien yang sebelumnya dinyatakan terpapar penyakit leptospirosis 

Kota Jogja Tribunjogja.com -  Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Yogyakarta menyebar 100 unit trap atau perangkap tikus di lingkungan penduduk.

Pemasangan perangkap tersebut menyasar rumah-rumah warga di sekitaran pasien yang sebelumnya dinyatakan terpapar penyakit leptospirosis.

Sebagai informasi, sebaran penyakit leptospirosis di Kota Yogyakarta sepanjang semester pertama 2025 menunjukkan peningkatan signifikan.

Dinkes Kota Yogyakarta mencatat, sepanjang Januari-Juli sejauh ini, terdapat 19 kasus leptospirosis, dengan enam diantaranya meninggal dunia.

Tikus Tertangkap Dibedah

Kepala Bidang Pencegahan Pengendalian Penyakit dan Pengelolaan Data dan Sistem Informasi Kesehatan Dinkes Kota Yogyakarta, Lana Unwanah, mengatakan, secara keseluruhan terdapat 50 rumah yang dipasangi perangkap tikus.

Deretan rumah tersebut, mencakup kediaman pasien leptospirosis yang dinyatakan meninggal dunia, serta beberapa hunian warga di sekitarnya.

"Awal pekan lalu kami melakukan pemasangan perangkap tikus secara massal di satu kampung yang pasien leptospirosisnya meninggal, untuk memeriksa kandungan bakteri sampel tikusnya ke laboratorium," katanya, Jumat (11/7/25).

Secara rinci, Lana memaparkan, setiap rumah yang disasar, dipasangi dua perangkap sekaligus, yang ditempatkan di bagian dalam dan luar.

Perangkap dipasang pada sore hari dan didiamkan semalam suntuk, untuk menunggu waktu 'operasional' tikus yang lebih banyak selepas matahari terbenam.

"Besok paginya kita panen. Dari 100 perangkap yang kita pasang di rumah warga dalam semalam, ada 10 ekor tikus yang tertangkap," ungkapnya.

Setelahnya tikus langsung dilakukan pembedahan, dengan diambil ginjalnya sebagai sample, kemudian dikirimkan ke Balai Besar Laboratorium Kesehatan Masyarakat.

Penelitian kini tengah dilakukan guna memastikan, apakah masih ada tikus-tikus mengandung bakteri leptospira yang berkeliaran di lingkungan masyarakat.

"Karena di lingkungan yang kita pasang perangkap tikus itu ada warga yang terpapar leptospirosis sampai meninggal dunia. Tapi, hasilnya memang harus menunggu sekitar dua minggu," ujarnya.

Sejauh ini, Pemkot Yogyakarta pun telah menerbitkan Surat Edaran (SE) Wali Kota Nomor 100.3.4 / 2407 Tahun 2025 Tentang Kewaspadaan Kejadian Leptospirosis dan Hantavirus.

Bukan tanpa alasan, tingkat fatalitas penyakit leptospirosis di Kota Yogyakarta menunjukkan tren mengkhawatirkan, dengan angka kematian pasien menyentuh 31 persen.

Kasus leptospirosis tersebar di 11 kemantren, meliputi Mantrijeron, Mergangsan, Gondokusuman, Kotagede (2), Umbulharjo, Pakualaman (2), Gedongtengen (2), Ngampilan (2), Wirobrajan, Jetis (3), Tegalrejo (3).

Adapun enam pasien leptospirosis yang meninggal dunia, berasal dari Pakualaman, Gedongtengen, Ngampilan (2), Wirobrajan dan Jetis.

"Sehingga, dari 14 kemantren di Kota Yogya, yang masih bebas dari kasus leptospirosis ada tiga, yaitu Kraton, Danurejan dan Gondomanan. Tapi, tetap saja harus waspada," tegasnya.

Pengasapan Beracun

Epidemiolog Dinkes Kota Yogyakarta, Anandi Retnani, menyampaikan, penanganan leptospirosis juga telah dilakukan dengan fumigasi atau pengasapan beracun.

Langkah tersebut ditempuh sebagai upaya mengendalikan tikus yang berpotensi menjadi vektor bakteri leptospira di area-area paparan kasus.

"Sampel-sampel tanah di area yang ada kasusnya juga kami periksa. Ternyata ada tanah yang kondisinya tercemar bakteri dari kencing tikus ini, sehingga langsung diberi disinfektan," ucapnya.

"Umumnya memang kasus berawal dari luka manusia yang terpapar kencing tikus sebagai pembawa bakteri. ditularkan dari hewan, terutama tikus, ke manusia melalui luka terbuka," urai Anandi. 

Butuh Sosialiasi

Kalangan legislatif mendesak Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta untuk mengintensifkan sosialisasi terkait penyakit leptospirosis.

Sebagai informasi, sebaran penyakit leptospirosis di Kota Yogyakarta sepanjang semester pertama 2025 menunjukkan peningkatan signifikan.

Dinkes Kota Yogyakarta mencatat, sepanjang Januari-Juli sejauh ini, terdapat 19 kasus leptospirosis, dengan enam diantaranya meninggal dunia.

Rata-rata pasien meninggal karena mengalami keterlambatan penanganan di fasilitas layanan kesehatan, akibat tidak menyadari gejala penyakit yang bersumber dari urine tikus berbakteri leptospira tersebut.

"Gejala utamanya kan karena demam. Tapi, warga tidak tahu, apakah demamnya karena leptospirpsis atau kecapekan saja," kata Ketua Komisi D DPRD Kota Yogyakarta, Darini, Jumat (11/7/25).

Politikus PDI Perjuangan itu menyampaikan, Surat Edaran (SE) Wali Kota Nomor 100.3.4 / 2407 Tahun 2025 Tentang Kewaspadaan Kejadian Leptospirosis dan Hantavirus harus segera di-follow up.

Terlebih, sejatinya, Dinkes Kota Yogyakarta sudah memiliki kader-kader kesehatan di wilayah, yang tersebar hingga tingkat RW (Rukun Warga).

"Biasanya sudah ada jadwal-jadwwl sosialisasi juga dari Puskesmas. Cuma, harus lebih masif lagi, karena tidak semua warga bisa menangkap dengan cepat," ungkapnya.

Lebih lanjut, Darini juga meminta, supaya koordinasi lintas instansi bisa diperkuat, khususnya antara Dinkes, Dinas Lingkungan Hidup (DLH), serta Dinas Pertanian dan Pangan.

Koordinasi diperlukan untuk memetakan rumah-rumah dan lingkungan warga yang terpapar leptospirosis, agar ke depan dapat ditingkatkan.

"Setelah diteliti, rumah mereka rata-rata di lingkungan yang kumuh, becek, sehingga banyak tikus. Bahkan, ada rumah yang kondisinya bocor-bocor," pungkasnya.

Apa itu Leptospirosis?

Leptospirosis adalah penyakit zoonosa yang disebabkan oleh infeksi bakteri berbentuk spiral dari genus leptospira yang patogen dikutip dari Kemenkes.go.id.

Leptospirosis merupakan zoonosis yang diduga paling luas penyebarannya di dunia, di beberapa negara di dunia dikenal dengan istilah “demam urine tikus”. Leptospirosis tersebar di seluruh dunia, dengan perkiraan kejadian tahunan sebesar 1,03 juta kasus dan 58.900 kematian.

Insiden yang tinggi ditemukan di negara dengan iklim tropis dan sub-tropis, khususnya di negara-negara kepulauan dengan curah hujan dan potensi banjir yang tinggi. Oleh sebab sulitnya diagnosis klinis dan ketiadaan alat diagnostik banyak kasus leptospirosis yang tidak terlaporkan. Faktor lemahnya surveilans, keberadaan reservoir dengan tingginya populasi tikus dan kondisi sanitasi lingkungan yang jelek dan kumuh akibat banjir merupakan faktor-faktor penyebab terjadinya kasus leptospirosis.

Binatang Pembawa Bakteri Leptospira

Di Indonesia, tikus adalah sumber utama penular leptospirosis (jenis tikus : suncus murinus, mus muscullus, rattus novergicus, bandadicota indica),  dan binatang lainnya anjing, babi, sapi, kambing.

Cara Penularan

Leptospirosis ditularkan melalui urin binatang yang mengandung bakteri leptospira, yaitu melalui invasi mukosa atau kulit yang tidak utuh.

 Infeksi dapat terjadi dengan kontak langsung atau melalui kontak dengan air (sungai, danau, selokan, lumpur atau tanah yang tercemar/terkontaminasi bakteri Leptospira.

Penyakit ini  berkembang di alam diantara hewan baik liar maupun domestik, dan manusia menjadi host yang merupakan infeksi akhir atau terminal, karena belum terlaporkan infeksi dari manusia ke manusia. 

Gejala Leptospirosis dan Masa Inkubasi

Gejala klinis : demam ≥ 38⁰ C, sakit kepala, badan lemah, nyeri betis hingga kesulitan berjalan, conjungtival suffusion (kemerahan pada selaput putih mata), kekuningan (ikterik) pada mata dan kulit,  pembesaran hati dan limpa, dan ada tanda-tanda kerusakan pada ginjal. Masa inkubasi antara 2-30 hari, rata-rata berlangsung 7-10 hari.

Daerah Sebaran Leptospirosis di Indonesia

Beberapa wilayah di Indonesia merupakan daerah endemis leptospirosis, Provinsi berikut pernah melaporkan kasus leptospirosis yaitu :

Provinsi DKI Jakarta, Banten, Jawa Tengah, Jawa Barat, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Maluku, Sumatera Selatan, Kalimantan Timur, Kalimantan Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Kepulauan Riau dan Bali.

Leptospirosis masih menjadi ancaman bagi kesehatan masyarakat dengan terjadinya Kejadian Luar Biasa (KLB) di beberapa wilayah di Indonesia berkaitan dengan keberadaan faktor risiko yaitu tingginya populasi tikus (rodent) sebagai reservoar leptospirosis, buruknya sanitasi lingkungan serta semakin meluasnya daerah banjir di Indonesia.

Faktor Risiko Penularan Leptospirosis

Bertempat tinggal atau beraktivitas di wilayah banjir, wilayah pemukiman banyak ditemukan tikus, melakukan aktivitas di sungai, olah raga di air,

Risiko pekerjaan seperti : petani, peternak, petugas kebersihan, petugas pemotongan hewan, tentara dan lain-lain. (*)

 

Sumber: Tribun Jogja
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved