Ketum PP Muhammadiyah Tanggapi Putusan MK soal Pendidikan Swasta Gratis: Jangan Sampai Mematikan

Negara tidak boleh membuat kebijakan yang justru bisa mematikan keberadaan lembaga pendidikan swasta.

Penulis: Miftahul Huda | Editor: Yoseph Hary W
TRIBUNJOGJA.COM/ HANIF SURYO
PENDIDIKAN GRATIS: Foto dok. ilustrasi. Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Haedar Nashir. Ia merespons putusan MK soal pendidikan gratis. 

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Muhammadiyah turut menanggapi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal pendidikan gratis di sekolah negeri maupun swasta.

Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Haedar Nashir menyebut penerapan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal pendidikan gratis untuk sekolah swasta ini harus saksama dan berpijak pada realitas dunia pendidikan di Indonesia.

"Implementasi dari (putusan) MK itu harus saksama, komprehensif, dan tetap berpijak pada realitas dunia pendidikan Indonesia, di mana swasta punya peran strategis," kata Haedar Nashir, Selasa (4/6/2025).

Haedar menuturkan sekolah swasta selama ini menjadi bagian penting sistem pendidikan nasional dan telah memberikan kontribusi besar dalam mencerdaskan kehidupan bangsa.

Sebab itu menurut dia negara tidak boleh membuat kebijakan yang justru bisa mematikan keberadaan lembaga pendidikan swasta.

"Kalau kemudian melakukan kebijakan seperti hasil MK kemarin, itu ya harus seksama. Jangan sampai mematikan swasta, yang justru sama dengan mematikan pendidikan nasional," ungkap Haedar.

Dia turut menyinggung soal kemampuan negara dalam menggratiskan seluruh pendidikan dasar, termasuk yang dikelola swasta.

Haedar menilai meski konstitusi menetapkan alokasi anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari APBN, alokasi itu tersebar ke banyak institusi kenegaraan.

"Apakah Kemendikti dan Kemendikdasmen diberi anggaran yang cukup untuk menanggung seluruh lembaga pendidikan swasta? Sementara swasta juga punya sifat inner dynamics, selalu ingin berkembang," terang Haedar.

Dalam hal ini Haedar menegaskan Muhammadiyah tidak pernah menempatkan lembaga pendidikannya sebagai instrumen bisnis, melainkan sebagai bentuk layanan publik. 

Karenanya dia menyayangkan jika ada anggapan bahwa seluruh sekolah swasta berorientasi pada keuntungan.

"Kalau ada satu dua yang berorientasi bisnis, jangan menjadi keputusan konstitusi. Jangan karena ada satu dua gugatan, lalu mudah memenuhi gugatan itu," ucap Haedar.

Dia berharap para pemangku kebijakan, baik di eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, tidak terburu-buru merespons desakan publik tanpa melihat dampaknya bagi sistem pendidikan nasional secara menyeluruh.

Menurut Haedar, Muhammadiyah bakal melihat terlebih dahulu arah kebijakan terkait implementasi putusan MK tersebut.

"Kalau penerjemahannya seperti yang disampaikan oleh Pak Menteri Pendidikan (Mendikdasmen Abdul Mu'ti) itu hanya payung umum yang operasionalnya tetap seperti sekarang ini, atau ada hal-hal yang berdampak buruk, baru di situ kami akan mengambil kebijakan. Kami tidak akan tergesa-gesa," ujarnya.

Soal implementasi putusan MK itu, Haedar mengusulkan dua pendekatan agar lembaga pendidikan swasta tetap bisa berkembang sekaligus terjangkau oleh masyarakat.

Pertama, sekolah swasta tetap menyelenggarakan layanan publik bagi masyarakat umum, seperti yang dilakukan Muhammadiyah selama ini. 

Lalu yang kedua, mengusulkan negara memberi ruang bagi sekolah unggulan swasta untuk berkembang dan menjawab kebutuhan khusus sebagian masyarakat.

"Kita kan tidak pernah mempertentangkan antara golongan atas dan bawah, karena Indonesia tidak menganut Marxisme, ada kelas atas, kelas bawah, ada kelas proletar, ada kelas borjuis, tapi seluruh masyarakat harus terlayani," tutup Haedar. (hda)

Sumber: Tribun Jogja
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved