Keren! Kopi Joss Ditetapkan Jadi Warisan Budaya Tak Benda Kota Yogyakarta

Keeenamnya meliputi tradisi Cublak-Cublak Suweng, Tari Wira Pertiwi, Tari Kuda-Kuda, Ketan Lupis Yogyakarta, Becak Yogyakarta, dan Kopi Joss.

Penulis: Azka Ramadhan | Editor: Yoseph Hary W
Tribun Jogja
Foto ilustrasi Kopi Jos Jogja 

TRIBUNJOGJA.COM - Kota Yogyakarta menerima enam sertifikat Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) dari Pemda DIY, di Gedhong Pracimasana, Kepatihan, Senin (26/5/25).

Keeenamnya meliputi tradisi Cublak-Cublak Suweng, Tari Wira Pertiwi, Tari Kuda-Kuda, Ketan Lupis Yogyakarta, Becak Yogyakarta, dan Kopi Joss.

Wali Kota Yogyakarta, Hasto Wardoyo, mengatakan, warisan budaya tak benda pada dasarnya harus bersifat produktif, bukan sebatas warisan yang tidak dihidupkan.

PENGHARGAAN: Wali Kota Yogya, Hasto Wardoyo, saat menerima sertifikat WBTB dari Gubernur Sri Sultan HB X, di kompleks Kepatihan, Senin (26/5/25).
PENGHARGAAN: Wali Kota Yogya, Hasto Wardoyo, saat menerima sertifikat WBTB dari Gubernur Sri Sultan HB X, di kompleks Kepatihan, Senin (26/5/25). (Dok. Pemkot Yogya)

Ia mengambil contoh, kopi joss yang merupakan hidangan kopi khas Kota Yogyakarta, yang disajikan dengan arang panas, kedepannya bisa dikembangkan, agar pangsa pasarnya semakin luas.

"Bisa nanti dikembangkan tidak hanya dijual di sekitaran Malioboro, tapi direplikasi di tempat lain. Kemudian, difortifikasi misal mengandung vitamin, atau kalsium, agar ada gizi tambahannya," katanya.

Sebagai informasi, asal-usul kopi joss dipercaya bermula dari Angkringan Lik Man pada kisaran 1968, sebagai variasi kopi untuk memenuhi permintaan pelanggan.

Keunikan kopi joss terletak pada penggunaan arang panas yang dicelupkan ke dalam kopi seduhan, yang dalam prosesnya lantas memunculkan suara 'joss'.

Hasto pun menyebut, diperlukan kreativitas dan inovasi, untuk mendorong warisan budaya tak benda menjadi satu hal yang dapat meningkatkan produktivitas.

Meski, sampai sejauh ini, keberadaan kopi joss masih lestari dan mudah dijumpai di Kota Yogyakarta, terutama di sekitaran Malioboro dan Tugu Pal Putih.

"Kami bersyukur dan terima kasih atas penetapan WBTB dari Kota Yogyakarta. Tapi, kami mengkritik diri kami sendiri, agar warisan tersebut tidak dibiarkan. Harus dihidupkan supaya produktif, memberikan manfaat bagi kehidupan masyarakat," ujarnya.

Sementara, Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X, menyampaikan, pelestarian WBTB tidak sekadar menjaga bentuk atau penampilan tradisi.

Namun juga menjaga nilai-nilai, makna, dan fungsi sosial budaya, agar tetap hidup dan terintegrasi dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.

"Demikian pula tentang kewajiban pemerintah untuk menghadirkan kebijakan afirmatif yang memberi ruang dan dukungan nyata kepada pelaku budaya. Mencakup pelindungan hak kekayaan intelektual komunal, pembinaan berkelanjutan, hingga pemberian insentif ekonomi dan ruang ekspresi budaya yang inklusif," ucapnya.

Ngarsa Dalem menegaskan, penyerahan sertifikat WBTB merupakan salah satu wujud pengakuan tertinggi atas nilai yang menjadi jati diri DIY. 

Sehingga penetapan WBTB bukan akhir dari proses pelestarian, tapi awal perjalanan untuk memastikan warisan budaya dapat terus hidup, bermakna, dan memberikan manfaat lintas generasi.

"Saya mendorong, agar pelestarian WBTB mengedepankan pendekatan berbasis komunitas, khususnya generasi muda harus diberi ruang dan alasan kuat untuk merasa terhubung dengan tradisi sebagai sumber identitas dan inspirasi yang dapat mereka kembangkan," urainya. (aka)

Sumber: Tribun Jogja
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved