Cerita Mahasiswa UII Didatangi Babinsa dan OTK setelah Menggugat UU TNI ke MK

Handika dari Grobogan, Jawa Tengah dan Irsyad dari Lampung didatangi seseorang yang mengaku dari MK dengan alasan melakukan verifikasi faktual

Penulis: Ardhike Indah | Editor: Yoseph Hary W
TRIBUNJOGJA/MIFTAHUL HUDA
GUGATAN: Foto dok ilustrasi. Massa aksi Jogja Memanggil membawa poster menolak pengesahan RUU TNI menjadi UU di Yogyakarta, Kamis (20/3/2025). Tiga mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII) didatangi Babinsa dan orang tidak dikenal (OTK) setelah mereka menjadi pemohon uji formil Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) ke Mahkamah Konstitusi (MK). 

Laporan Reporter Tribun Jogja, Ardhike Indah

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Tiga mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII) didatangi Babinsa dan orang tidak dikenal (OTK) setelah mereka menjadi pemohon uji formil Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Berdasarkan data di MK, mereka tercatat sebagai Pemohon Perkara 74/PUU-XXIII/2025 yang berisikan empat anggota, yakni Abdur Rahman Aufklarung, Satrio Anggito Abimanyu, Irsyad Zainul Mutaqin dan Bagus Putra Handika Pradana.

Sidang perkara tersebut sudah digelar di MK, Kamis (22/5/2025).

Abdur Rahman Aufklarung atau Arung, Koordinator Tim Permohonan Perkara 74/PUU-XXIII/2025 membenarkan adanya dugaan intimidasi tak langsung pasca dirinya dan tim mengajukan permohonan uji materi ke MK. 

Ia menyebut, pada Minggu, 18 Mei 2025, sejumlah pihak tak dikenal mendatangi ketua RT dan bahkan aparat desa untuk mengambil data pribadi milik para pemohon.

“Ketua RT dari dua rekan saya, Handika dari Grobogan, Jawa Tengah dan Irsyad dari Lampung didatangi seseorang yang mengaku dari MK dengan alasan melakukan verifikasi faktual,” ungkap Arung kepada Tribun Jogja, Jumat (23/5/2025)

Ia mengatakan, modus yang digunakan terbilang serupa, yakni memulai percakapan dengan memuji penampilan para pemohon di sidang pendahuluan pada 9 Mei 2025, lalu meminta data pribadi mereka.

Dalam kasus Handika, sang ketua RT akhirnya menunjukkan dan memperbolehkan orang asing tersebut memotret Kartu Keluarga (KK). 

Sementara Irsyad tidak sampai memberikan data apapun dan Satria tidak mengalami hal-hal yang dialami tiga teman lainnya.

Arung yang berasal dari Kutoarjo, Mojokerto, Jawa Timur, juga mengatakan pengalaman pribadinya sama mencemaskan.

“Babinsa desa saya mendapat perintah dari Kodim Mojokerto untuk mencari data saya. Tanpa konfirmasi, salinan KK saya diambil dari kantor desa dan disetorkan ke Kodim,” jelasnya. 

Ia tidak mengetahui motif pengambilan data tersebut, namun menyayangkan bahwa itu terjadi tanpa persetujuan dirinya sebagai pemilik data.

Insiden lain terjadi sehari setelah pengambilan data, ketika dokumen Google Docs yang digunakan tim untuk menyusun berkas permohonan ke MK tiba-tiba diakses oleh delapan akun anonim tak dikenal.

“Padahal kami tidak pernah menyebarluaskan link tersebut ke publik,” ujarnya. 

Meski belum terjadi intimidasi langsung atau ancaman, Arung menyebut kejadian itu membuat timnya merasa tidak aman.

Saat diverifikasi ke MK di persidangan Kamis (22/5/2025), Ketua MK, Arief Hidayat memastikan OTK tersebut bukan berasal dari MK.

“Enggak pernah ada itu (pihak MK yang meminta verifikasi faktual ke pemohon). Enggak ada dari MK. Jadi, tidak ada komunikasi apa-apa meminta identitas secara faktual, enggak ada,” kata Arief.

Kampus siapkan pendampingan hukum

Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) FH UII menyatakan siap memberikan pendampingan hukum kepada mahasiswa pemohon judicial review (JR) di MK yang belakangan mengalami dugaan intimidasi dari pihak tak dikenal.

Rizky Ramadhan Baried, Direktur LKBH FH UII, menyampaikan bahwa pihaknya telah melakukan rapat bersama pimpinan fakultas untuk menyusun langkah-langkah mitigasi, tidak hanya terkait perlindungan data pribadi mahasiswa, tetapi juga keselamatan fisik mahasiswa dan keluarganya.

“Perjuangan teman-teman mahasiswa dalam agenda JR di MK adalah proses yang panjang. Karena itu, kami akan hadir sebagai penasihat hukum mereka, khususnya dalam konteks dugaan pengancaman dan intimidasi oleh orang tak dikenal,” kata Rizky dikonfirmasi Jumat (23/5/2025).

Ia menyebut, meskipun pelaku yang teridentifikasi merupakan aparat seperti Babinsa dan pihak yang mengaku dari kepaniteraan MK, tindakan mereka dinilai tidak sesuai dengan hukum acara.

“Adanya oknum yang mengaku dari Kepaniteraan MK jelas melanggar ketentuan hukum. Terlebih lagi, keterlibatan Babinsa dalam meminta data kependudukan mahasiswa juga di luar kewenangannya,” tegasnya.

Rizky mengatakan hingga saat ini belum ditemukan unsur tindak pidana secara langsung seperti ancaman fisik maupun psikis terhadap mahasiswa. Namun, secara prinsip, hal-hal tersebut tetap tidak seharusnya terjadi dalam iklim demokrasi.

“Judicial review itu jalur konstitusional yang dilindungi undang-undang. Maka, setiap bentuk tekanan terhadap pemohon, sekecil apa pun, mencederai prinsip-prinsip demokrasi dan negara hukum,” ujarnya.

Rizky memastikan, segala bentuk komunikasi dan korespondensi yang menyangkut mahasiswa pemohon perkara 74/PUU-XXIII/2025 kini akan difasilitasi melalui penasihat hukumnya. 

Hal ini dilakukan untuk mencegah kejadian serupa terulang dan memastikan perlindungan hukum bagi para mahasiswa tetap terjaga. (Ard)

Sumber: Tribun Jogja
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved