Puisi
Makna Puisi 1945-1960 karya Mochtar Lubis, Kekecewaan Atas Pengkhianatan Nilai-Nilai Perjuangan
Puisi “1945-1960” merupakan sebuah suara, kritik, dan romantis situasi di peralihan masa kemerdekaan Indonesia ke masa orde baru yang memiliki beragam
Penulis: Tribun Jogja | Editor: Joko Widiyarso
TRIBUNJOGJA.COM - Mochtar Lubis dikenal dengan karya-karya puisinya yang menjunjung tinggi nilai nasionalisme.
Banyak puisinya yang kerap mengagungkan suara demokrasi, perjuangan, dan keadilan.
Tak hanya itu, bentuk-bentuk kritik terhadap pemerintahan atau oknum-oknum tertentu juga ia tuangkan dalam sajak-sajaknya.
Hal ini dapat dilihat pada puisinya yang berjudul “1945-1960”.
Puisi “1945-1960” merupakan sebuah suara, kritik, dan romantis situasi di peralihan masa kemerdekaan Indonesia ke masa orde baru yang memiliki beragam emosi.
Berikut makna puisi “1945-1960”:
Isi Puisi “1945-1960”
Teriak dan pekik peperangan
Bunga-bunga bertaburan
Pesing, Semarang, Surabaya
Bandung, Bekasi dan Krawang
Merdeka atau mati!
Merdeka! Merdeka! Merdeka!
Mengguntur tekad cita-cita
pemuda dan rakyat di tahun
empat puluh limaan
janji kemerdekaan manusia
Indonesia ditebus dengan
darah dan mayat berhamburan
di seluruh Nusantara
dari pantai ke pantai, lembah ke lembah,
gunung ke gunung, sungai ke sungai,
di jalan-jalan dalam kota
dengan darah angkatan empat lima menulis
rakyat kami mesti merdeka dari
kezaliman dan penindasan.
Tapi kemudian setelah merdeka
banyak mereka lupa sumpah empat lima
kembalilah kezaliman dan penindasan
Teror bertualang di kota dan desa
Ketakutan masuk memeras hati
Kini di tahun enam puluh enam
Terdengar di luar tembok rumah penjara
Gegap gempita teriak perang
Dentuman bedil dan gemuruh panzer
Arif Rachman, Zubaedah
Makna Puisi “1945-1960”
Puisi ini adalah sebuah elegi pahit yang mengenang semangat perjuangan kemerdekaan namun sekaligus meratapi pengkhianatan terhadap nilai-nilai tersebut di masa selanjutnya.
Dengan latar waktu yang spesifik, puisi ini menjadi saksi bisu dari harapan yang pupus dan siklus kekerasan yang terus berulang dalam sejarah bangsa.
a. Semangat Perjuangan Kemerdekaan '45
Bagian awal puisi membentangkan semangat heroisme dan tekad bulat bangsa Indonesia dalam merebut kemerdekaan di tahun 1945.
Teriakan dan pekik peperangan yang membahana di berbagai kota ("Pesing, Semarang, Surabaya, Bandung, Bekasi dan Krawang") menjadi simbol perlawanan sengit terhadap penjajah.
Semboyan "Merdeka atau mati!" yang diulang tiga kali menekankan pilihan tunggal dan harga mati yang dipertaruhkan demi kemerdekaan.
Tekad dan cita-cita pemuda dan rakyat yang mengguntur di tahun '45 menunjukkan persatuan dan semangat revolusioner yang membara.
Kemerdekaan yang dijanjikan bagi seluruh manusia Indonesia ditebus dengan pengorbanan besar, "darah dan mayat berhamburan" di seluruh Nusantara, dari Sabang hingga Merauke.
Darah para pejuang angkatan '45 menjadi tinta yang menuliskan tuntutan mutlak rakyat untuk merdeka dari "kezaliman dan penindasan."
b. Pengkhianatan Sumpah '45 dan Kembalinya Penindasan
Namun, nada puisi bergeser menjadi kekecewaan dan kepedihan setelah kemerdekaan diraih.
Penyair menyayangkan bahwa "banyak mereka lupa sumpah empat lima," mengindikasikan adanya pengkhianatan terhadap cita-cita luhur perjuangan.
Ironisnya, "kembalilah kezaliman dan penindasan," menunjukkan bahwa esensi perjuangan untuk kebebasan dan keadilan justru dilupakan oleh generasi setelahnya.
Teror kembali merajalela di "kota dan desa," dan ketakutan mencengkeram hati rakyat.
Bagian ini menyiratkan adanya kekecewaan terhadap kondisi sosial dan politik pasca kemerdekaan, di mana nilai-nilai perjuangan seolah-olah terinjak-injak.
c. Latar Waktu '66 dan Kekerasan yang Terulang
Puisi kemudian secara eksplisit menyebutkan tahun "enam puluh enam," sebuah periode penting dalam sejarah Indonesia yang ditandai dengan pergolakan politik dan kekerasan.
Suara "gegap gempita teriak perang" dan "dentuman bedil dan gemuruh panzer" yang terdengar "di luar tembok rumah penjara" mengindikasikan adanya konflik dan kekerasan yang sedang terjadi.
Penyebutan nama "Arif Rachman, Zubaedah" di akhir puisi kemungkinan merujuk pada individu-individu yang menjadi korban atau saksi dari peristiwa tragis di tahun 1966 tersebut.
Hal ini memperkuat kesan bahwa siklus kekerasan dan penindasan kembali terulang, mengkhianati cita-cita kemerdekaan yang telah diperjuangkan dengan begitu mahal. (MG Ni Komang Putri Sawitri Ratna Duhita)
MG Key
Makna Puisi 1945-1960 karya Mochtar Lubis
Puisi 1945-1960 karya Mochtar Lubis
Mochtar Lubis
Arti dan Makna Puisi
| 3 Contoh Puisi Tema Tentang Kesendirian dan Kesepian di Tengah Hiruk Pikuk Kota |
|
|---|
| 5 CONTOH Puisi Romantis yang Dijamin Bikin Si Dia Makin Jatuh Hati Padamu |
|
|---|
| 4 CONTOH Puisi Tema Tentang Kerusakan Alam |
|
|---|
| 10 Contoh Puisi Pendek untuk Menyemangati Diri di Tengah Keterpurukan |
|
|---|
| 3 CONTOH Puisi Patah Hati, Tentang Kekasih Pergi Bersama Tambatan Hati Lain |
|
|---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.