Aparat Serang Jurnalis dan Tenaga Medis di Aksi Tolak UU TNI di Malang, Pusham UII: Kejahatan Brutal

Insiden kekerasan terhadap jurnalis dan tenaga medis dalam demonstrasi menolak Undang-Undang TNI di Malang itu pun menuai kecaman dari berbagai pihak.

Penulis: Ardhike Indah | Editor: Yoseph Hary W
dok.istimewa
PELANGGARAN: Foto Ilustrasi. Pusham) UII menyatakan tindakan aparat yang diduga menyerang jurnalis dan tenaga medis saat demo di Malang merupakan pelanggaran berat terhadap prinsip-prinsip hak asasi manusia (HAM) internasional. 

Laporan Reporter Tribun Jogja, Ardhike Indah

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Tenaga medis dan jurnalis yang ada di demonstrasi Tolak UU TNI di Malang diserang oleh aparat kepolisian maupun Tentara Nasional Indonesia (TNI), Minggu (23/3/2025).

Dari sejumlah saksi mata di media sosial, tenaga medis yang sedang memberikan pertolongan pertama kepada demonstran turut menjadi sasaran kekerasan aparat.

Bahkan, ada laporan yang menyebutkan aparat melakukan penyisiran hingga ke dalam rumah sakit.

Insiden kekerasan terhadap jurnalis dan tenaga medis dalam demonstrasi menolak Undang-Undang TNI di Malang itu pun menuai kecaman dari berbagai pihak.

Direktur Riset dan Publikasi Pusat Hukum dan Hak Asasi Manusia (Pusham) Universitas Islam Indonesia (UII), Dr Despan Heryansyah S.H.I., S.H., M.H., menegaskan bahwa tindakan tersebut merupakan pelanggaran berat terhadap prinsip-prinsip hak asasi manusia (HAM) internasional.

“Dalam tradisi hukum HAM dan internasional, haram hukumnya menyentuh jurnalis dan tenaga medis (saat aksi berlangsung). Ini adalah tindakan yang sangat memalukan bagi Indonesia di mata dunia,” ujar Despan kepada Tribun Jogja, Senin (24/3/2025).

Ia menambahkan bahwa jika kekerasan terhadap jurnalis dan tenaga medis dilakukan secara sengaja, maka itu termasuk kejahatan brutal.

Namun, jika tindakan tersebut dilakukan karena ketidaktahuan, situasinya menjadi lebih buruk lagi karena menunjukkan lemahnya pemahaman aparat terhadap standar hak asasi manusia.

Ditanya apakah kejahatan brutal yang dilakukan aparat itu bisa dilaporkan ke pengadilan internasional, Despan menjawab tidak bisa. Dia mengatakan, Indonesia memiliki mekanisme internal untuk menangani pelanggaran HAM.

Namun, ia menilai bahwa kasus ini berpotensi menjadi temuan Komisi HAM Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) untuk menunjukkan bahwa perlindungan HAM di Indonesia masih sangat lemah.

Despan mengatakan, tidak semua pelanggaran HAM dapat diadili melalui mekanisme hukum internasional. Dalam konteks ini, yurisdiksi internasional memiliki batasan tertentu dalam menangani kasus-kasus pelanggaran HAM, termasuk yang terjadi dalam aksi demonstrasi.

Statuta Roma, misalnya, hanya mengatur kejahatan berat tertentu, sehingga pelanggaran terhadap jurnalis dan tenaga medis dalam demonstrasi tidak termasuk dalam ranah yurisdiksi pengadilan internasional.

Statuta Roma adalah perjanjian internasional yang menjadi dasar pembentukan Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court/ICC). Dokumen ini diadopsi pada 17 Juli 1998 di Roma dan mulai berlaku pada 1 Juli 2002, setelah diratifikasi oleh 60 negara.

“Statuta Roma hanya mengatur kejahatan kemanusiaan, genosida, agresi, dan kejahatan perang. Jadi memang tidak ada mekanisme internasional untuk kasus seperti ini. Seharusnya, jika di Eropa ada lembaga HAM regional yang bisa menangani, di Asia justru lembaga HAM-nya masih lemah,” jelasnya.

Despan juga menyoroti, Komnas HAM dan Kementerian HAM seharusnya mengambil sikap aktif dan progresif dalam menangani kasus ini. Namun, hingga saat ini kedua lembaga tersebut belum menunjukkan tindakan yang dapat diharapkan.

“Dalam kondisi seperti ini, lembaga seperti Komnas HAM, Kompolnas, termasuk Dewan Pers harus segera bersuara dan mengkritik langsung tindakan represif ini,” tegasnya. (Ard)

Sumber: Tribun Jogja
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved