Hikmah Ramadan 1446 H

Ramadan Sebagai Momen Pengingat dan Penguat

Ramadan adalah bulan untuk meningkatkan ibadah, menjaga salat wajib, dan berusaha menambah dengan salat-salat sunah, tentu juga berpuasa.

Penulis: Tribun Jogja | Editor: Agus Wahyu
TRIBUNJOGJA.COM/ISTIMEWA
Kiai Tajul Muluk MAg, Ketua LD PWNU DI. Yogyakarta, PengasuhPesantren Putri UII Yogyakarta. 

Kiai Tajul Muluk MAg
(Ketua LD PWNU DI. Yogyakarta, PengasuhPesantren Putri UII Yogyakarta) 

ALHAMDULILLAH adalah ekspresi emosional paling tepat untuk menggambarkan perjumpaan kita dengan bulan Ramadan. Entah sudah yang ke berapa kali. Bagi orang beriman, sungguh perjumpaan terbaiknya sebelum dengan Allah dan Rasul-Nya adalah perjumpaan dengan bulan Ramadan

Ketika tahun ini kita berjumpa lagi dengan bulan Ramadan, tentu bukan semata keinginan kita, kan? Melainkan tentang takdir dan kehendak Allah SWT atas kita, agar mendapatkan kesempatan lagi untuk melakukan banyak hal yang berguna bagi sebagai orang hamba, sebagai orang beriman. 

Hampir setahun waktu yang kita jalani, entah dengan aktivitas yang baik tapi kurang berguna, atau malah tak baik sekaligus tak berguna. Maka, kalau kita ingat dan renungkan nasihat Rasulullah tentang nikmat sehat dan sempat, sungguh kesempatan diperjumpakan dengan Ramadan dalam keadaan sehat merupakan senyata kasih sayang Allah kepada kita agar memperbaiki diri.

Dalam pengetahuan kita bersama, Ramadan adalah bulan untuk meningkatkan ibadah, menjaga salat wajib, dan berusaha menambah dengan salat-salat sunah, tentu juga berpuasa. 

Itu benar. Tetapi kita bisa melihat keberadaan bulan Ramadan dari sisi lain, atau setidaknya melengkapi pengetahuan pertama kita, bahwa Ramadan adalah bulan untuk saling mengingatkan dan menguatkan. Dua fungsi ini penting untuk dimunculkan agar menjadi bahan perbincangan sekaligus renungan.
Meski pun kita memastikan diri sebagai orang beriman, salat dan puasa sekaligus, bukankah kita tetap memiliki sisi lemah dalam menjalani keimanan kita? Mungkin itu tak terasa, meskipun nyata. 

Lemah iman kita dalam hal tertentu, walaupun tetap kuat dalam hal lainnya. Contoh konkretnya, ibadah jalan, maksiat pun demikian. 

Apa maksiatnya? Jawabannya tentu beragam, sebab setiap bidang dan profesi punya gaya bermaksiatnya sendiri. 

Agamawan bermaksiat dengan menjual ayat-ayat agama untuk menghalalkan keinginannya, meski sejatinya tidak halal. Politisi memalsukan jati dirinya untuk memperdaya konstituennya. Pebisnis memanipulasi komoditasnya untuk meraup keuntungan, dan penyedia jasa menyamarkan akad dengan kliennya agar tidak dikomplain ketika ketahuan kecurangannya. 

Jika semua pelaku dalam berbagai profesi tersebut adalah orang beriman, karena masih salat, tetapi tetap memberanikan diri untuk melakukan penyimpangan demikian, bisa jadi salah satu faktor penyebabnya adalah lemah dan alpa keimanannya. Maka di sinilah, pengingat dan penguat itu menjadi penting untuk dihadirkan. 
Sewajarnya, ketika seseorang mau berpayah-payah puasa dan meningkatkan ibadah di dalam bulan Ramadan. Itu menandakan, bahwa sebetulnya masih ada keimanan, ada harapan menjadi baik. Ini harus dipertegas agar keinginan tersebut muncul dan mendorong untuk melakukan upaya perbaikan. 

Secara environment, suasana Ramadan sangat mendukung untuk melakukan hal-hal baik. Tinggal bagaimana kita menemukan dan memanfaatkannya. 
Mengapa harus ditemukan? Sebab, kondisi tersebut terkadang tidak dapat dijumpai sebagian orang. Misalnya, di komunitas yang tak menghargai kehadiran bulan Ramadan sebagaimana mestinya. Tentu di lingkungan mereka, tidak ada beda antara bulan Ramadan dan bulan lainnya. 

Karena itu, mencari dan menemukan lingkungan yang supportRamadan menjadi bagian penting untuk melakukan proses perbaikan ini. Lalu, di mana dan bagaimana lingkungan Ramadan itu dapat dijumpai? 
Sebetulnya, dalam waktu sebelas bulan lalu, kita sudah memiliki berbagai lingkaran (circle) atau komunitas. Interaksi dengan mereka sudah kita jalani dan rasakan, bahkan mungkin sudah kita bedakan. 

Maka dalam kepentingan mencari supporting system menjadi orang baik mumpung bulan Ramadan, seleksi, dekati, dan naikkan intensitas interaksi dengan orang-orang baik dari komunitas-komunitas itu. Apalagi, kalau bisa diklasifikasi kemampuan mereka, dari yang sekadar baik perilakunya, hingga baik dan berilmu. 

Tentu hal itu akan menjadi faktor pendukung yang sangat menguntungkan. Membahas hal ini jadi teringat dengan syair yang ditulis Syeikh Ibrahim bin Adham tentang 5 penyembuh hati; membaca alquran dan merenungi maknanya, salat dan munajat di keheningan malam, dekat dan belajar baik dari orang-orang alim nan saleh, berpuasa dan menahan hawa nafsu, berzikir dengan kesungguhan hati. 

Kelima amalan tersebut sungguh akan lebih mudah untuk ditemukan pada Ramadan. Majelis kajian melimpah, setiap malam bisa salat sunah, berkumpul dan bersama-sama dengan orang-orang baik untuk tadarrus, dan sebagainya.

Momen baik ini akan sangat membantu kita semua, guna mengingat dan mengingatkan bahwa kita adalah hamba Allah yang semestinya menjalani kehambaan secara sebenar-benar kehambaan. 

Momen ini akan menjadi penguat dan menguatkan diri kita dan orang lain, bahwa kita bisa berproses bersama memperbaiki kondisi kita dan menjadi semakin baik. Bismillah, Insya Allah. (*)

Sumber: Tribun Jogja
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved