Penurunan BI Rate Berdampak Positif Bagi Pengusaha, Tapi Kurang Signifikan

Kebijakan penurunan suku bunga acuan merupakan langkah berani di tengah tekanan global dan domestik. 

dok.istimewa
ilustrasi 

Laporan Reporter Tribun Jogja, Christi Mahatma Wardhani

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Belum lama ini Bank Indonesia menurunkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin menjadi 5,75 persen.

Menurut Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) DIY, Timotius Apriyanto, kebijakan penurunan suku bunga acuan merupakan langkah berani di tengah tekanan global dan domestik. 

Ia mengakui penurunan BI Rate memberi dampak positif.

Salah satunya memberikan dorongan bagi dunia usaha melalui biaya kredit yang lebih rendah. Namun dalam situasi saat ini, manfaat tersebut belum dirasakan signifikan.

Ada beberapa faktor yang memengaruhi, pertama adalah pelemahan rupiah.

Nilai tukar rupiah yang melemah, membuat pelaku usaha menghadapi tantangan berat.

Khususnya bagi pelaku usaha yang bergantung pada bahan baku impor.

Dampaknya, biaya produksi akan meningkat, otomatis margin keuntungan menurun.

“Ketidakpastian global dan fluktuasi harga minyak menciptakan ketidakpastian bagi investor. Jadi meskipun suku bunga rendah dan dapat merangsang investasi, namun risiko nilai tukar yang tidak stabil membuat pelaku usaha menahan ekspansi,” katanya, Rabu (22/01/2025).

Ia menyebut kebijakan fiskal juga kurang memberikan efek berganda dan sering tidak sensitif terhadap dinamika bisnis.

Menurut dia, belanja pemerintah seharusnya memberikan dorongan besar bagi sektor usaha.

Sayangnya, implementasinya kurang efektif.

Alokasinya pun terkadang tidak tepat, sehingga sektor usaha kurang merasakan manfaatnya langsung.

Tekanan inflasi juga masih menjadi tantangan. Meski harga minyak dunia diproyeksikan turun dalam jangka panjang, namun pelemahan rupiah dapat memicu kenaikan harga BBM.

Akhirnya pun akan berdampak ke inflasi, tentunya juga akan memengaruhi daya beli masyarkat.

Untuk itu, diperlukan langkah strategis, seperti diversifikasi energi, sehingga akan mengurangi ketergantungan pada minyak impor.

Artinya pengembangan energi baru terbarukan harus diakselerasi.

Dengan begitu dapat menciptakan ketahanan energi jangka panjang, sekaligus mengurangi tekanan pada devisa.

“Ekspor nonmigas perlu diperkuat untuk menambah cadangan devisa. Daya saing ekspor produk non migas harus didorong. Kebijakan fiskal harus mendorong sektor manufaktur dan teknologi untuk memperluas pasar ekspor,” terangnya.

“Pemerintah perlu memastikan belanja fiskal memiliki efek berganda yang tinggi. Program-program yang mendukung usaha kecil dan menengah (UKM) serta infrastruktur ekonomi harus menjadi prioritas utama. Pemberian Subsidi Tepat Sasaran di tengah kenaikan kebutuhan BBM selama Ramadhan, subsidi yang tepat sasaran dapat membantu menjaga daya beli masyarakat dan menekan inflasi,” lanjutnya.

Selain itu, pemerintah juga perlu meningkatkan cadangan devisa di tengah fluktuasi harga minyak dan tingginya kebutuhan dolar AS untuk impor.

Pemerintah perlu memperkuat sinergi antara kebijakan moneter dan fiskal untuk memitigasi risiko eksternal. (*)

Sumber: Tribun Jogja
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved