Sunat bagi Perempuan? Simak Penjelasan Menteri Agama 

Saya ingin mengingatkan kembali, dalam Islam khitan laki-laki dan perempuan berbeda. Kalau laki-laki wajib, tapi perempuan ada perbedaan.

Editor: ribut raharjo
Kemenag.go.id
Menag Nasaruddin Umar 

TRIBUNJOGJA.COM, JAKARTA - Bisa timbulkan masalah pada kesehatan, Menteri Agama Nasaruddin Umar tegas menuturkan perempuan tidak wajib dikhitan.

Selain itu, tidak ada satu hadis pun yang mewajibkan khitan bagi perempuan.

“Saya ingin mengingatkan kembali, dalam Islam khitan laki-laki dan perempuan berbeda. Kalau laki-laki wajib, tapi perempuan ada perbedaan. Ada yang bilang mulia, ada yang hanya membolehkan saja,” ujar Menag saat mengisi Seminar Nasional yang digelar Yayasan Puan Alam Hayati yang digelar di Grand kemang, Jakarta, baru-baru ini.

Ia menilai, tradisi tersebut tidak memiliki manfaat seperti khitan bagi laki-laki. Secara medis, perempuan yang sudah dikhitan justru mengurangi hasrat seksualnya.

Dirinya berharap, praktik khitan perempuan tidak lagi terjadi di Indonesia.“Khitan perempuan ini sangat tidak manusiawi, padahal perempuan juga berhak menikmati kenikmatan biologis, tidak ada beda antara laki-laki dengan perempuan. Perempuan berhak mendapatkan kepuasan,” ujarnya.

Mengutip, Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) yang dilaksanakan 2021 menyebutkan 55 persen anak perempuan dari perempuan usia 15-49 tahun yang tinggal bersama di Indonesia menjalani sunat perempuan atau P2GP (Pemotongan dan Pelukaan Genetalia Perempuan).  

Berdasarkan data UNICEF tahun 2015, Indonesia masuk dalam tiga besar negara yang penduduknya masih menjalani praktik sunat perempuan. 

Dikutip dari situs resmi Kementerian PPPA Plt. Sekretaris Kementerian PPPA, Titi Eko Rahayu menyatakan sunat perempuan secara internasional telah dinyatakan sebagai pelanggaran hak asasi manusia atas kesehatan dan integritas perempuan.

“Berdasarkan data UNICEF, 200 juta anak perempuan di 30 negara melakukan P2GP atau sunat perempuan. Indonesia masuk dalam kategori tiga besar negara yang mempraktekkannya.  Sunat perempuan secara internasional telah dinyatakan sebagai pelanggaran hak asasi manusia atas kesehatan dan integritas perempuan. Sunat perempuan termasuk tindak kekerasan karena berdampak negatif pada kesehatan perempuan dan dapat mengakibatkan korban meninggal dunia,” ungkap Titi Eko Rahayu.

Praktik yang membahayakan ini masih dilaksanakan secara turun temurun di masyarakat. Titi Eko memaparkan, banyaknya praktik sunat perempuan di Indonesia salah satunya dipengaruhi oleh faktor pemahaman atau tafsir agama dan budaya dimana perempuan itu tinggal.

Adapun tiga alasan terbanyak yang diungkapkan oleh perempuan dalam melaksanakan sunat perempuan pada SPHPN tahun 2021 di antaranya;

(1) Mengikuti perintah agama sebanyak 68,1 persen;

(2) karena sebagian besar masyarakat di lingkungannya melakukannya sebanyak 40,3 persen;

(3) alasan kesehatan seperti dianggap lebih menyuburkan sebanyak 40,3 persen.

“Pemotongan dan pelukaan yang membahayakan genitalia perempuan di Indonesia pada umumnya dilakukan sejak kecil. Perempuan tidak menyadari dampaknya hingga saat mereka tumbuh dewasa. Berbeda dengan khitan laki-laki yang memiliki standar prosedur khitan, praktek sunat perempuan sama sekali tidak memiliki standar prosedur pelaksanaan,” tegas Titi Eko.

Halaman
12
Sumber: Tribunnews
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved