Rangkuman Materi Sejarah Kelas 11 SMA Bab 2 Unit B Bagian 5: Pers dan Sastra Pembawa Kemajuan
Rangkuman materi Sejarah Kurikulum Merdeka Kelas 11 SMA Bab 2 Unit B Bagian 5 mengenai Pers dan Sastra Pembawa Kemajuan.
Penulis: Tribun Jogja | Editor: Joko Widiyarso
TRIBUNJOGJA.COM – Dalam pusaran sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia, pers dan sastra memainkan peran yang sangat vital.
Lebih dari sekadar media informasi, keduanya menjadi senjata ampuh dalam membangkitkan semangat nasionalisme, mengkritik kebijakan pemerintah, dan menyatukan rakyat.
Kali ini kita akan belajar materi Sejarah kelas 11 SMA Kurikulum Merdeka Bab 2 tentang Pergerakan Kebangsaan Indonesia terkhusus Munculnya Embrio Kebangsaan dan Nasionalisme.
Materi ini dilansir dari buku Sejarah karya Martina Safitry, Indah Wahyu Puji Utami, dan Zein Ilyas.
Pada materi kali ini, siswa diharapkan mampu menggunakan sumber-sumber sejarah untuk mengevaluasi secara kritis dinamika pergerakan kebangsaan Indonesia pada masa penjajahan Belanda, serta dapat merefleksikan dalam kehidupan masa kini dan masa depan.

Berikut di bawah ini rangkuman materi Sejarah Kurikulum Merdeka Kelas 11 SMA Bab 2 Unit B Bagian 5
Pers dan Sastra Pembawa Kemajuan
Stigma bahwa pemikiran kaum perempuan Indonesia jauh tertinggal dari kaum pria di awal abad ke-20 bisa terpatahkan apabila kita melihat adanya penerbitan Soenting Melajoe.
Surat kabar ini adalah surat kabar pertama yang diterbitkan oleh perempuan.
Rohana Kudus adalah redakturnya sekaligus wartawati perempuan pertama.
Sebelumnya sudah ada surat kabar Poetri Hindia di Batavia pada tahun 1908 yang didirikan oleh Tirto Adhi Soerjo.
Namun, usia penerbitan ini hanya sekitar 3 tahun seiring dengan kepopuleran Soenting Melajoe.
Tirto Adhi Soerjo merupakan orang pribumi pertama yang menggunakan surat kabar dan terbitan berkala sebagai alat pembentuk pendapat umum dan propaganda ide nasionalisme kebangsaan.
Tirto adalah seorang pribumi pertama yang memiliki kesadaran pentingnya pers untuk membela kepentingan politik dan sosial masyarakat pribumi.
Ia kemudian mendirikan Organisasi Sarekat Prijaji pada tahun 1906.
Salah satu tujuannya adalah untuk memajukan rakyat pribumi dengan cara memberikan beasiswa dan pendidikan bagi masyarakat yang kurang mampu.
Ketika berada di Bandung pada tahun 1907, ia menggagas penerbitan surat kabar Medan Prijaji yang diklaimnya sebagai pers pribumi pertama di Indonesia.
Melalui surat kabar ini, ia menginginkan bangsa Indonesia maju dan dapat melepas ketertinggalannya dari bangsa lain.
Baca juga: Rangkuman Materi Sejarah Kelas 11 SMA Bab 1 Unit C Bagian 6: Munculnya Sentimen Rasial
Selain itu Tirto juga menerbitkan majalah Soeloeh Keadilan, Pantjaran Warta, Soeara S.S (Staatsspoorwagen), dan Soeara Pegadaian.
Banyak tulisannya mengkritik pemerintah dan menyebarluaskan tindak sewenang-wenang pejabat kolonial.
Pada tahun 1909 Tirto akhirnya dihukum dan diasingkan ke Lampung.
Pada tahun 1912 dia diasingkan kembali ke Maluku, setelah sempat dibebaskan, tahun 1916 ia tutup usia saat 38 tahun.
Menjelang tahun 1920, kritik terhadap kebijakan Belanda semakin ramai diberitakan pers bumiputera.
Surat kabar Oetoesan Melajoe (1911) dan Soeara Perempuan (1918) menjadi suara untuk perlawanan terhadap kolonialisme di Indonesia dengan semboyan kemerdekaan.
Tidak hanya lewat terbitan berkala, dari ranah sastra terdapat beberapa karya yang menggugah kesadaran antikolonialisme dan membangkitkan rasa nasionalisme Indonesia.
Karya fenomenal yang ditulis oleh Multatuli (nama samaran Douwes Dekker) berjudul Maz Havelaar (1860) telah membuka mata dunia tentang kemelaratan rakyat pribumi di negara koloni.
Selain itu, terdapat novel-novel yang menceritakan keadaan pada masa itu, seperti novel karya Mas Marco Kartodikromo yang berjudul Student Hidjo terbit pada 1918.
Novel ini menceritakan tentang asal muasal kelahiran intelektual pribumi yang berasal dari kalangan elit rendahan atau borjuis kecil yang berani mengontraskan kehidupan di Belanda dengan di Hindia Belanda.
Novel lain yang berjudul Hikayat Kadiroen karya Semaoen dan terbit pada tahun 1919.
Novel ini kental dengan sudut pandang paham internasional yang mencoba menggambarkan situasi pergerakan yang berbasis nasional maupun internasional.
Pers dan sastra tidak hanya berperan sebagai alat perjuangan, tetapi juga menjadi cerminan semangat dan aspirasi bangsa.
Karya-karya sastra yang lahir pada masa perjuangan kemerdekaan telah menjadi warisan budaya yang tak ternilai harganya.
Pers dan sastra telah membuktikan bahwa kata-kata memiliki kekuatan yang luar biasa.
Sebagai generasi muda, kita memiliki kesempatan untuk memanfaatkan kekuatan kata-kata dalam membangun masa depan yang lebih baik. ( MG Maryam Andalib )
Baca juga: Rangkuman Materi Sejarah Kelas 11 SMA Bab 1 Unit C Bagian 7: Dampak Politik
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.