Pakar Hukum UGM Soroti Sejumlah Hal Setelah Tom Lembong Tersangka Korupsi Impor Gula

berita Tom Lembong menjadi tersangka dalam kasus dugaan korupsi impor gula ketika ia menjabat.

Penulis: Ardhike Indah | Editor: Iwan Al Khasni
Kompas.com
Tom Lembong 

“Itu harus dilihat karena unsur memperkaya korporasi itu tidak selalu sama dengan unsur yang merugikan keuangan negara,” bebernya.

Akbar mempertanyakan, siapa yang menghitung kerugian keuangan negara itu. Apakah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atau Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).

Hal ini untuk memastikan, angka kerugian yang diklaim dalam kasus ini dihitung secara valid dan akurat oleh lembaga yang kompeten, bukan hanya berdasarkan perkiraan dari penyidik atau kejaksaan.

“Dalam kasus ini, yang diperkaya adalah korporasi swasta karena dari delapan swasta itu menerima Rp400 miliar. Padahal, ini harus dilihat juga, kerugian itu bukan kerugian keuangan negara secara langsung, tapi juga dari PT PPI yang merupakan BUMN,” terang dia.

Akbar kemudian mengasumsikan, kerugian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ini kemudian dikategorikan sebagai kerugian negara seluruhnya.

“Padahal, di situ juga harus diperhitungkan lagi. Modal disetor negara berapa dan lain sebagainya,” ungkap Akbar.

Ia turut mempertanyakan mengapa kasus tahun 2015 baru diusut di tahun 2023, sesuai dengan waktu penyidikan, meskipun kasus itu belum kadaluarsa.

Lantas, apakah kerugian yang dialami oleh BUMN ini bisa disebut sebagai kerugian keuangan negara?

Menurut Akbar, itu bisa menimbulkan debat yang panjang, tapi sudah banyak putusan yang menyebut kerugian BUMN bisa dikategorikan sebagai kerugian negara.

“Seharusnya tidak serta merta (kerugian BUMN adalah kerugian negara). Misalkan, Rp400 miliar itu, apakah keuntungan potensial? Karena berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 25 Tahun 2012, kerugiannya itu harus aktual, bukan potensial,” ucapnya.

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 25/PUU-X/2012 menyatakan bahwa dalam konteks tindak pidana korupsi, kerugian keuangan negara harus bersifat aktual (nyata) dan bukan hanya kerugian potensial (perkiraan kerugian yang belum terjadi).

Putusan ini menegaskan bahwa unsur merugikan keuangan negara harus didasarkan pada kerugian yang telah terjadi dan nyata, bukan sekadar potensi kerugian atau estimasi.

Putusan ini lahir untuk mencegah penafsiran yang terlalu luas dan subyektif dalam menghitung kerugian negara pada kasus korupsi.

MK dalam putusan tersebut berpendapat bahwa hanya kerugian yang nyata atau aktual yang memenuhi syarat untuk unsur kerugian negara, sehingga tidak semua kerugian atau potensi kerugian dapat dijadikan dasar untuk tuduhan korupsi.

Akbar menambahkan, sebaiknya jangan menjadikan Pasal Dua dan Tiga UU Tipikor itu sebagai keranjang sampah, sehingga tidak bisa disamakan kerugian negara itu adalah korupsi.

“Itu harus dilihat secara komprehensif,” tutupnya. (Tribunjogja.com/Ardhike Indah)

Sumber: Tribun Jogja
Halaman 2 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved