Mubeng Kampus Jogja

Ekonom UGM: Banyaknya Menteri dan Wamen Prabowo Bikin Ruang Fiskal Makin Sempit

Prabowo Subianto disebut-sebut akan mengangkat 49 calon menteri dan 59 calon wakil menteri untuk pemerintahannya yang akan datang.

Penulis: Ardhike Indah | Editor: Gaya Lufityanti
ist
Ilustrasi: Kampus UGM 

Laporan Reporter Tribun Jogja, Ardhike Indah

TRIBUNJOGJA.COM, SLEMAN - Presiden terpilih, Prabowo Subianto disebut-sebut akan mengangkat 49 calon menteri dan 59 calon wakil menteri untuk pemerintahannya yang akan datang.

Mereka sudah dipanggil satu per satu dan mengikuti Hambalang Retreat untuk menyamakan visi misi dengan Prabowo.

Dari 108 orang tersebut, ada dari selebritis, akademisi, anggota partai, aktivis dan pengusaha.

Jumlah calon menteri, wakil menteri maupun kepala badan yang akan jadi pembantu Prabowo terhitung lebih banyak ketimbang era Joko Widodo yang hanya dibantu 35 menteri dan 18 wakil menteri.

Menanggapi hal tersebut, Ekonom Universitas Gadjah Mada (UGM), Akhmad Akbar Susamto, S.E., M.Phil., Ph.D, mengatakan, kabinet yang disusun Prabowo termasuk gemuk dengan jumlah menteri dan wakil menteri yang sangat banyak.

“Tentunya, ini membawa konsekuensi pada anggaran belanja negara. Yang pasti, nilai anggaran belanja untuk gaji dan tunjangan menteri, wakil menteri dan para staf menteri akan membengkak,” kata Akhmad kepada Tribun Jogja, Rabu (17/10/2024).

Dia mengungkap, banyaknya orang yang akan masuk kabinet itu bisa mempersempit ruang fiskal pemerintah yang memang sudah sempit.

Akhmad kemudian mengkaitkan dengan kondisi ekonomi nasional.

Menurutnya, kondisi terkini tidak bisa dibilang tidak terlalu buruk, karena masih mampu mempertahankan pertumbuhan di angka lima persen, tapi menghadapi tantangan dari sisi ketahanan ekonomi.

Pasalnya, pascapandemi, jumlah pekerja sektor informal  jauh lebih besar, yakni 84,13 juta orang atau setara dengan 59,17 persen dari total pekerja

.“Jadi kondisi ketenagakerjaan kita belum pulih sepenuhnya, tapi orang butuh makan. Jadi apa saja dikerjakan, serabutan begitu. Maka tidak heran kalau sektor informal meningkat,” bebernya.

Pemerintahan Prabowo dan Gibran menurutnya justru akan sibuk menghadapi tantangan dari dalam sisi pemerintahannya sendiri.

Sebab, Kementerian Keuangan menyatakan terjadi defisit anggaran Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) per Juli 2024 sebesar Rp93,4 triliun.

Walaupun dinyatakan angka tersebut masih sesuai dengan rancangan APBN, tapi perlu diperhatikan bahwa hal ini berdampak pada ruang fiskal pemerintah.

Akhmad memperkirakan hingga akhir tahun, kemampuan pemerintah dalam mendongkrak ekonomi nasional cenderung rendah.

“Dana yang bisa diotak-atik itu lebih sedikit karena sudah ada alokasinya. Sisanya ini akan lebih kecil lagi karena ada janji-janji politik yang sudah disampaikan oleh pemerintahan lalu maupun nanti dari pemerintahan baru,” tutur Akhmad. 

Ia mencontohkan, jika pemerintah misalnya akan melanjutkan pembangunan IKN maka tentu butuh anggaran lagi.

Belum lagi program baru pemerintah, seperti makan bergizi gratis yang juga membutuhkan anggaran besar.

Sedangkan dari sisi moneter, Akhmad memaparkan kondisi dan fakta lain yang dihadapi.

Salah satu strategi Bank Indonesia dalam mempertahankan ekonomi nasional menetapkan suku bunga tinggi dalam beberapa tahun terakhir.

Kebijakan ini dilakukan dengan mengacu pada kebijakan The Federal Reserve System (Fed) yang juga meningkatkan suku bunga sebagai respon atas inflasi di Amerika.

Kemudian, suku bunga Amerika turun sebesar 0,5 persen, tapi Bank Indonesia tetap mempertahankan suku bunga di angka 6 persen.

Strategi ini dilakukan untuk mempertahankan nilai tukar rupiah.

“Kemampuan sektor moneter dalam mendukung perekonomian nasional itu juga rendah sebenarnya. Segi moneter ini juga tidak bisa bergerak bebas, karena banyak bergantung pada kebijakan inflasi luar negeri,” jelas Akhmad. 

Maka dapat disimpulkan pada kebijakan fiskal maupun moneter, pemerintah nantinya mengalami kesulitan karena ruang gerak ekonomi yang sempit.

Pertumbuhan ke depan mungkin cenderung stabil, tapi tidak bisa secara progresif meningkat, kata dia.

Strategi untuk menghadapi tantangan tersebut menurutnya tentu tidak mudah.

Akhmad menyarankan pemerintahan yang baru sebaiknya fokus memperbaiki ketahanan ekonomi.

Salah satu kebijakan yang bisa dilakukan pemerintah selain dari sisi ekonomi, yakni memperbaiki sistem reward dan punishment.

Ia menyebutnya kondisi ekonomi sekarang ibarat masyarakat salah insentif.

“Ada kondisi di mana seseorang yang baik justru dihukum, dan yang buruk justru diberikan reward. Kondisi ini mengacu pada banyak fenomena yang menghambat masyarakat untuk berkembang,” katanya. 

Akhmad mengambil contoh industri kelapa sawit yang merupakan komoditas ekspor terbesar Indonesia.

Berbagai isu sosial dan lingkungan muncul pada industri ini, sehingga tidak banyak pihak yang mau bekerja sama di dalamnya.

“Ini bisa diatasi dengan penegakkan hukum. Jika pemerintah bisa memperkuat penegakkan hukum, maka bisa jadi masyarakat nantinya bisa tergerak untuk maju bersama,” tuturnya. ( Tribunjogja.com )

Sumber: Tribun Jogja
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved