Penurunan Daya Beli Masyarakat

Daya Beli Masyarakat Menurun, Pengusaha di Gunungkidul Akui Omzet Terjun Bebas

BPS Gunungkidul menyebut terjadi penurunan daya beli masyarakat yang ditandai dengan  deflasi sebesar 0,05 persen pada September 2024 ini.

Penulis: Nanda Sagita Ginting | Editor: Gaya Lufityanti
Tribunjogja.com/Nanda Sagita
Latifah (30) saat merapikan sejumlah jilbab di tempat usahanya, pada Selasa (1/10/2024). 

Laporan Reporter Tribun Jogja Nanda Sagita Ginting 

TRIBUNJOGJA.COM, GUNUNGKIDUL - Badan Pusat Statistik (BPS) Gunungkidul menyebut terjadi penurunan daya beli masyarakat yang ditandai dengan  deflasi sebesar 0,05 persen pada September 2024 ini.

Akibat penurunan daya beli masyarakat ini, praktis berimbas kepada sejumlah pelaku usaha di wilayah ini.

Satu di antaranya yakni pelaku usaha busana muslim, Latifah  (30) yang memiliki lokasi usaha di Jalan Kolonel Sugiyono, Wonosari, Kabupaten Gunungkidul.

Latifah mengatakan, penurunan daya beli masyarakat membuat omzetnya terjun bebas hingga 50 persen.

"Penurunan daya beli masyarakat ini sudah terasa  sejak sesuai lebaran kemarin. Omzet terus menurun sampai sekarang,  penurunannya seperti terjun payung itu di atas 50 persen,"ujarnya saat ditemui di lokasi usahanya.

Akibat omzet yang anjlok tersebut, Latifah mengaku terpaksa harus mengurangi produksi usahanya.

Jika, normalnya bisa produksi sampai 1000 lembar kini hanya 200 lembar saja.

"Produksi kami kurangi, karena cash flow nya kan turun drastis, jadi kami pun kalau mau buat produksi yang banyak mikir-mikir lagi kan, takutnya gak terjual kan. Karena, kalau punya barang banyak tapi gak ada yang terjual ya pastinya bisa rugi besar. Jadi untuk mengakali kami hanya buat produksi yang lalu laku saja seperti jilbab, untuk baju muslim kami tidak berani re-stock,"terangnya.

Ia pun mengaku, tidak mengetahui kenapa penurunan omzetnya bisa sampai terjun bebas seperti itu. Menurutnya, ini kali pertama omzetnya turun sangat drastis.

"Sejak empat tahun merintis usaha ini, kondisi saat ini yang paling tragis. Soalnya saat pandemi saja kondisinya masih lebih baik dibandingkan sekarang. Saya juga bertanya-tanya ini salahnya di mana,"ungkapnya.

Hal serupa pun dirasakan pelaku usaha pembuatan topeng klasik , Sajiman (60) di desa Wisata Bobung yang terletak di desa Putat, Kapanewon Patuk. 

Dia mengatakan, dirinya terpaksa mengurangi karyawan karena permintaan topeng klasik menurun drastis. Menurutnya, daya beli masyarakat yang menurun begitu terasa bagi mereka yang  hidup di lingkungan wisata. 

"Seperti saya pembuatan topeng klasik sangat erat kaitannya dengan iklim wisata, saat ini kondisinya masih tersungkur, sebab iklim wisata belum sepenuhnya bangkit sejak pandemi lalu. Alhasil, biasanya kami bisa menerima pesanan hingga ratusan topeng dengan melibatkan hingga 40 karyawan, kini pesanan paling banyak puluhan saja. Akibatnya, kami terpaksa mengurangi karyawan, saat ini yang membantu saya hanya istri, anak, dan menantu saja,"paparnya.

Dirinya pun berharap adanya solusi dari pemerintah terkait menurunnya daya beli masyarakat yang berimbas pada semua sektor.

"Pemerintah harus segera menemukan solusi, kalau dibiarkan seperti ini yang ada pengusaha bakal banyak yang gulung tikar, dan pasti akan terjadi efek domino,"pungkasnya ( Tribunjogja.com )

Sumber: Tribun Jogja
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved