Kunci Jawaban
Penjabaran Jawaban Bahasa indonesia untuk SMA/SMK Kelas XI Bab 3 Halaman 75-82
Kunci Jawaban Bahasa indonesia untuk SMA/SMK Kelas XI Bab 3 Halaman 75-82 Kegiatan 1.2.3
Penulis: Tribun Jogja | Editor: Joko Widiyarso
Dari kawan-kawannya sesama pelarian, yang tak bisa pulang karena paspor mereka dirampas penguasa baru di tanah yang kutinggalkan, kudengar dia merasa sangat bersalah. Mengutuki dirinya sebagai seorang ayah yang keji, karena tidak membesarkan, apalagi menyekolahkan, anak tunggal kami. Tak sekali-dua-kali kawan-kawannya di Tiongkok, sebelum mereka mendamparkan diri ke Amsterdam sini, memergokinya sedang membisikkan nama anaknya berulang kali, dan membentur-benturkan kepalanya ke meja makan. Juga ke tembok. Kawannya sekamar sering mendengar desis sebuah nama dan gedebuk berulang-ulang di dinding batu sementara dia masih berada di toilet
Menurut cerita kawan-kawannya itu pula, ketika Revolusi Kebudayaan membanjir di seluruh daratan Tiongkok, dia acapkali
termenung, tak percaya akan apa yang dia saksikan. Dia dengar di seluruh negeri itu seorang manusia sedang dipuja melebihi dewi Kwan Im. Suatu pagi dia terperanjat. Gemetar melihat puluhan pemuda dan tentara bertopi segi-lima, syal merah, yang sedang konferensi di satu hotel bertingkat, semuanya berdiri di beranda hotel di tingkat ke sekian, menghadap ke timur. Mereka bukannya memuja matahari, melainkan memuliakan sang penyelamat yang sedang duduk entah di mana. Lewat pengeras suara, mereka bersenandung, seperti hendak menggelontorkan matahari:
“di langit tiada dewa
di bumi tiada raja
gunung-gunung menyingkirlah aku datang ...”
Dia bersama ratusan kawan senasib disingkirkan ke sebuah kota kecil, jauh dari Peking. Alasannya demi keamanan. Supaya tak jadi sasaran mereka yang datang dengan senjata “Buku Merah”. Dia merasa benar-benar dikucilkan, disingkirkan, dari dunia yang wajar. Dilarang keluar dari kompleks perumahan. Dari seorang yang terlatih menulis, dia menjadi pengangkut kotoran manusia untuk pupuk tanaman. Perasaannya tambah tertekan. Apalagi muncul perpecahan di kalangan mereka yang tak bisa pulang ke tanah air itu. Ratusan jumlahnya. Mereka bertengkar, seperti hendak berbunuh-bunuhan,
karena beda pilihan keyakinan politik, antara Moskow dan Peking.
Beberapa tahun kemudian, aku menerima sepucuk surat. Melihat titimangsanya, surat itu terlambat empat bulan. Melalui perbatasan sejumlah negara Eropa, diposkan di Amsterdam. Hanya secarik kertas. Dia membujukku menjual apa saja untuk ongkos dan bertolak dari Jakarta supaya bisa berjumpa di Macao atau Kanton. Waktu itu, pekerjaan sebagai tukang jahit dan pembuat kue sudah kutinggalkan. Aku sudah memiliki beberapa bajaj dan berangan-angan menjadi pengusaha taksi supaya bisa memilih perguruan yang baik untuk anakku.
Di stasiun kereta api Kanton aku menjumpainya sedang duduk di sebuah bangku panjang. Duduk berpangku tangan. Dari rona matanya, sepertinya dia kehilangan sesuatu yang sangat berharga. Aku memanggil namanya. “Ini aku…,” sapaku. Dia berdiri, memelukku
erat-erat seperti hendak meremukkan tulang rusukku. Orang hilirmudik tak dia hiraukan.
“Malam pertama, dia bercerita tentang rencananya berangkat ke Belgia, yang tak lama lagi akan membuka hubungan diplomatik
dengan Tiongkok. Sehingga visa tinggal di negara itu diperkirakan akan mudah diperoleh. Dari negara itu, katanya, dia akan melompat ke Belanda, di mana beberapa orang temannya senasib sudah siap menampung. Aku hanya meletakkan kupingku dengan baik-baik di bahunya. Mengiyakan apa saja yang dia rencanakan. Malam kedua, ulu hatiku terasa seperti dia tonjok, ketika dia katakan ada kabar yang sampai ke kupingnya, bahwa aku sering pergi dengan lelaki lain. Lantas dia keluarkan sebuah buntalan kecil dari saku celananya. Dibalut kain putih, di dalamnya segumpal tanah merah yang kering.
“Ciumlah … Ini tanah Indonesia. Apa pun yang akan terjadi dia akan mempertautkan kita,” katanya lamat-lamat seraya memegangi tanganku,merebahkan kepala di bahuku. Semacam permintaan maaf atas tuduhan yang baru saja dia timpakan padaku. Katanya, tanah itu dia bawa ketika meninggalkan Jakarta menuju Kairo dan kandas di Peking.
Tak sampai lima tahun setelah pertemuan di Kanton itu. Begitulah, kalau tak salah ingatanku. Bajajku sudah selusin dan taksiku lima. Dengan bantuan pengarahan dari gereja, aku bisa menyekolahkan anakku di Australia. Dia studi teknologi informasi, keinginannya satu-satunya.
Setelah beberapa lama bermukim di Belanda, suamiku berkirim surat. Layaknya pecandu sepak bola yang ingin lawannya kalah
habis-habisan, dia berteriak melalui baris-baris suratnya: “Juallah semuanya, jangan tinggalkan sepeser pun di negeri yang dikuasai fasis itu. Terbanglah kemari! Tanahmu. Tanahku, walau segenggam, menunggu di sini!”
Tak terlalu sulit untuk memenuhi keinginannya. Ada orangorang gereja yang siap membantu mencarikan pembeli. Juga sanaksaudara, sekalipun mereka harus mendekatiku dengan hati-hati. Cecunguk di mana-mana. Tiba-tiba, datang lagi surat dari dia. Singkat. Memerintah: jangan berangkat dulu! Keadaan tidak aman. Maksudnya apa, aku tak tahu. Tunggu kabar selanjutnya, katanya.
Padahal rumah sudah terjual. Terpaksa aku mengontrak rumah selama setahun. Kabar susulan dari dia belum juga muncul selama setahun.
Aku berniat baik, ingin berbuat kebajikan kepada suami yang kucintai. Orang yang sayangnya pada anakku membuat dia dikungkung ketegangan karena merasa bersalah tidak ikut membesarkannya. Tetangga, sanak-famili boleh acuh-tak-acuh, karena takut, namun gereja membukakan pintu untukku. Walau hanya bubungan gereja
kecil. Di situlah aku tinggal sambil menunggu aba-aba keberangkatan yang akan datang dari daratan impian
Derita tak usah berpanjang-panjang. Sementara keteguhan tak boleh padam. Singkat cerita, aku mendarat di Schiphol. Dia menyambutku di
pintu ke luar. Dada sesak oleh kebahagiaan. Aku dirangkulnya berlamalama. Lantas mendorong barang bawaanku menuju kereta api.
| Kunci Jawaban Worksheet 5.3 Bahasa Inggris Kelas 8 Halaman 243 Kurikulum Merdeka |
|
|---|
| Cara-Cara Penyelesaian Sengketa Internasional Secara Damai: PPKN Kelas 11 Unit 2 Halaman 169-170 |
|
|---|
| PPKN Kelas 11 Unit 2 Cara-Cara Penyelesaian Sengketa Internasional Secara Damai Halaman 169-170 |
|
|---|
| Penjabaran PPKN Kelas 11 Unit 5: Stereotip, Diskriminasi, dan Bullying Halaman 146 |
|
|---|
| Jawaban Soal Kimia untuk Kelas 11 BAB 3 Ayo Cek Pemahaman Uraian : Stoikiometri |
|
|---|

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.