Berita Bisnis Terkini

Upaya Pelestarian Makanan dan Minuman Tradisional di Era Globalisasi Budaya

Balai Pelestarian Kebudayaan melakukan pencatatan, inventarisasi, pendokumentasian, hingga studi kasus terhadap makanan tradisional yang masih populer

Penulis: Christi Mahatma Wardhani | Editor: Gaya Lufityanti
Tribunjogja.com/Christi Mahatma
Pamong Budaya Ahli Madya Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah X, Theresiana Ani Larasati (kanan) dan Ahli Gastronomi Universitas Negeri Yogyakarta, Dr. Minta Harsana, M.Sc menerangkan pelestarian makanan dan minuman tradisional di era globalisasi budaya, Rabu (21/08/2024). 

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Makanan tradisional menjadi salah satu kekayaan Daerah Istimewa Yogyakarta. 

Makanan tradisional juga menjadi salah satu objek budaya dalam Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan, selain manuskrip, olahraga tradisional, seni tradisional, pengetahuan tradisional, dan lain-lain.

Pamong Budaya Ahli Madya Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah X, Theresiana Ani Larasati mengatakan makanan tradisional masuk dalam pemajuan kebudayaan sebagai pengetahuan tradisional.

Sehingga pihaknya melakukan pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan.

Balai Pelestarian Kebudayaan melakukan pencatatan, inventarisasi, pendokumentasian, hingga studi kasus terhadap makanan tradisional yang masih diminati dan populer.

“Dengan pendataan, nanti ada data pokok kebudayaan, jadi masing-masing kabupaten/kota harus mencatat. Tugas kami ini melakukan percepatan data pokok kebudayaan. Karena yang punya akun untuk verval (verifikasi dan validasi data) di kabupaten/kota. Setelah registrasi, satu tahun kemudian baru disidangkan, baru ditetapkan (warisan budaya tak benda),” katanya, Rabu (21/08/2024).

Ia menyebut ada lima makanan tradisional Sleman yang sedang dalam proses penetapan warisan budaya tak benda, yaitu jadah tempe, ayam kalasan, cethil, tempe pondoh, dan apem wonolelo. 

Menurut dia, yang menjadi tantangan untuk melestarikan makanan maupun minuman tradisional saat ini adalah kurangnya rasa memiliki.

Hal itu dipicu dari kurangnya pengetahuan masyarakat terkait makanan dan minuman tradisional. Sehingga upaya pengenalan dan edukasi perlu terus dilakukan.

“Tentu kami nggak bisa melestarikan sendirian, perlu menggandeng masyarakat dengan segala lapisan, dan stakeholder. Misalnya dengan sekolah menyediakan snack tradisional. Sudah dicoba, tetapi ternyata ada yang masih utuh,tidak dimakan, karena tidak tahu itu makanan apa. Nah ini kan perlu ada pemahaman, ketika diberikan pengertian, kemudian mencicipi. Mungkin memang tidak langsung suka, tetapi paling tidak tahu, dan merasakan,” terangnya.

Ia menilai kebudayaan itu bersifat dinamis, sehingga diperlukan inovasi, namun tidak meninggalkan unsur-unsur tradisional. Meski di tengah gempuran arus globalisasi, ia tetap optimis upaya pelestarian makanan dan minuman tradisional bisa dilakukan.

“Sekarang juga kan ada peraturan, hotel-hotel itu menghidangkan makanan tradisional. Kami jadi optimis. Kemudian saat ini upaya pemenuhan gizi juga menjadi perhatian, ke depan perlu juga dikaji kandungan gizi apa saja yang termuat dalam makanan tradisional. Apalagi makanan tradisional ini kan tidak pakai bahan pengawet, tidak memakai pewarna yang berbahaya,” ujarnya.

Sementara itu, Ahli Gastronomi Universitas Negeri Yogyakarta, Dr. Minta Harsana, M.Sc menerangkan makanan tradisional tidak hanya dilihat dari usianya yang sudah diwariskan dua generasi atau paling tidak 50 tahun. Tetapi juga dari resepnya yang turun-temurun, bahan baku dari dari daerah lokal tertentu, dan dinikmati dalam komunitas tertentu.

“Saya sedih karena ada degradasi pengetahuan anak muda. Kalau ditanya makanan khas Jogja, paling tahunya bakpia, yangko. Padahal makanan tradisional di DIY banyak sekali, masing-masing kabupaten/kota ada, di Gunungkidul misalnya da 47 jenis kudapan. Banyak sekali, tetapi sekarang kan yang masuk fast food (makanan cepat saji),” terangnya.

“Makanan tradisional tidak hanya dilihat dari rasanya, teksturnya, itu dasar. Memahami makanan tradisional itu dengan triangle konsep, makanan dan budaya, makanan dan histori, dan budaya dan histori. Sehingga bisa belajar fungsi makanan sebagai religi, bisa memahami cerita di balik makanan, ada juga makanan sebagai simbol pemberontakan,” lanjutnya.

Halaman
12
Sumber: Tribun Jogja
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA
    Komentar

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved