Berita Bisnis Terkini

Strategi Membangun Desa Prenerur sebagai Motor Penggerak Perekonomian DIY

Pembentukan desa preneur merupakan upaya Dinas Koperasi dan UKM DIY untuk menggerakkan ekonomi masyarakat.

|
Penulis: Christi Mahatma Wardhani | Editor: Gaya Lufityanti
istimewa
Suasana talkshow Rembug SiBakul 

Laporan Reporter Tribun Jogja, Christi Mahatma Wardhani 

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Pembentukan desa preneur merupakan upaya Dinas Koperasi dan UKM DIY untuk menggerakkan ekonomi masyarakat.

Saat ini sudah ada 85 desa preneur di DIY.

Kepala Dinkop UKM DIY, Srie Nurkyatsiwi mengatakan desa preneur merupakan salah satu pengejawantahan visi dan misi gubernur DIY terkait reformasi kalurahan. Sehingga pengembangan dan pemberdayaan difokuskan di kalurahan, agar kalurahan bisa menjadi pusat pertumbuhan ekonomi DIY. 

Desa preneur sendiri dibentuk berdasarkan potensi di daerah masing-masing.

Pihaknya melakukan identifikasi potensi daerah, baik itu potensi sumber daya alam maupun sumber daya manusia.

“Kalau bicara regulasi, sudah ada Pergub 20 Tahun 2022 tentang desa preneur, kemudian afirmasinya juga diarahkan sesuai potensi yang ada. Yang diperlukan selanjutnya adalah partisipasi masyarakat, sehingga masyrakat tidak sebagai objek, tetapi sebagai subjek, kami ajak ngobrol bareng sehingga program kami ini dibahasakan dengan bahasa mereka,” katanya dalam Rembug SiBakul, Jumat (05/04/2024).

“Potensi daerah ini menjadi penting, bisa sumber daya alam, berkaitan dengan wisata misalnya. Jangan sampai wisatawan datang, tetapi belanja oleh-olehnya di tempat lain. Desa preneur bisa menangkap ini, sehingga ada spending money wisatawan di sana. Sumber daya lainnya juga bisa kembangkan, sesuai potensi daerah,” sambungnya.

Komitmen masyarakat juga menjadi yang penting dalam membentuk desa preneur.

Sebab pihaknya bakal melakukan pendampingan, baik melalui skema kelas maupun inkubasi terus-menerus.

Menurut dia, dibutuhkan komitmen yang kuat dari masyarakat untuk melalui proses menjadi desa preneur.

Baca juga: Strategi Dinas Koperasi dan UKM DIY untuk Meningkatkan Daya Saing UMKM

“Tidak semuanya memiliki komitmen, pengennya langsung segera ada produk, jualan. mindset tidak bisa instan ini yang kemudian tidak mudah diubah. Kalau diilustrasikan itu, seperti balon, ditiup pelan-pelan, bisa berkembang, dan bisa terbang. Kami tentu tidak bisa terus mendampingi. Komitmen ini penting, kalau tidak ada komitmen yang kuat, bisa saja setelah tidak didampingi malah kembali ke asalnya,” lanjutnya.

Untuk membangun desa preneur, Dinkop UKM DIY tidak bisa berjalan sendiri.

Butuh kolaborasi pentahelix dari berbagai pihak, mulai dari legislatif, akademisi, media, dan masyarakat.

Dengan kolaborasi yang apik antarstakeholder, ia meyakini desa preneur bisa menjadi motor penggerak ekonomi kreatif. 

“Kolaborasi ini menjadi bagian penting juga. Akademisi misalnya, banyak penelitian yang kemudian bisa diimplementasikan untuk mengembangkan desa preneur. Kalau tidak disambungkan (dengan masyarakat) mungkin hanya menjadi laporan saja. Legislatif juga tentu selama ini sudah memberikan dukungan. Media juga beperan sebagai value planner, dengan pebisnis atau agregator misalnya,” paparnya.

Anggota Komisi B DPRD DIY, Madiono mengungkapkan kendala utama dalam membentuk desa preneur adalah keberanian untuk memulai, sehingga perlu ada dorongan melalui program-program dari Pemerintah Daerah (Pemda) DIY.

Dari sisi anggaran, Pemda DIY sudah memiliki sumber yang cukup, baik melalui dana keistimewaan maupun bantuan keuangan khusus (BKK). 

“Apalagi danais ini juga digunakan untuk desa preneur. Tentu saja akan mempercepat pengentasan kemiskinan di DIY, karena saat ini pengentasan kemiskinan menjadi salah satu yang belum berhasil diselesaikan. Dinkop UKM DIY tentu sudah memiliki program-program untuk menumbuhkembangkan ekonomi kreatif di pedesaan. Kami di DPRD bertugas menampung aspirasi masyrakat untuk kemudian disalurkan ke OPD terkait,” ungkapnya. 

Sebagai legislatif, pihaknya memiliki fungsi pengawasan.

Fungsi tersebut dilakukan untuk memastikan program yang dijalankan tepat sasaran, termasuk dari sisi pemanfaatan anggarannya. 

Pada kesempatan yang sama, Inisiator Desa Preneur model Blangkon, Imam Syafi’i menyebut DIY memiliki banyak potensi yang bisa dikembangkan.

Namun untuk dapat menumbuhkan desa preneur diperlukan kesiapan masing-masing desa, mulai dari SDM serta keberpihakan perangkat daerah.

Sebab keberpihakan perangkat daerah pada pembangunan ekonomi daerah, akan mempercepat keberhasilan desa preneur.

“Kalau perangkat daerahnya punya visi misi untuk mengembangkan ekonomi, pasti dari regulasi dan programnya akan diarahkan ke sana. Sehingga larinya lebih cepat. Tetapi kan tidak semua perangkat daerah punya komitmen seperti itu, sehingga kesiapan desa untuk mengembangkan desanya ini menjadi penting,” ujarnya.

Ia mencontohkan Angkringan Kopi Kethip yang ada di Sidoarum, Godean.

Angkringan tersebut diinisiasi oleh masyarakat yang memanfaatkan lahan di sekitarnya.

Tumbuh saat pandemi COVID-19, saat ini menghasilkan omzet Rp3-10 juta per hari.

Produk yang dijajakan di angkringan tersebut diproduksi oleh ibu rumah tangga di wilayah itu.

Sedangkan yang bertugas melayani pembeli adalah pemuda setempat.

“Ada pemberdayaan masyarakat di sana, dan kebersamaannya ada. Meski diinisiasi oleh warga, tetapi mendapat dorongan dari dukuh setempat. Perangkat daerah seharusnya menjadi fasilitator, misalnya ada masalah apa ya dicarikan solusinya. Jangan dibiarkan sendiri,” terangnya.

Partisipasi aktif masyarakat menjadi penting, sehingga usaha yang dijalankan bersama ini dapat konsisten.

Ia mendorong agar ke depan desa preneur menjadi salah satu unit usaha di bawah badan usaha milik desa maupun lembaga lain.

Sehingga pengelolaan desa preneur bisa lebih profesional, mulai dari pencatatan hingga laporan keuangan.

Di sisi lain, kolaborasi dengan akademisi juga sangat dibutuhkan.

Sebab akademisi memiliki sumber daya manusia yang mumpuni untuk memberikan mendampingan, sesuai dengan kebutuhan desa preneur.

“Kami sangat terbantu dengan kehadiran mahasiswa-mahasiwa. Cuma terkadang tata kalanya yang tidak sesuai. Kami sendiri sudah menggandeng beberapa universitas, ini langkah yang coba kami lakukan untuk mengembangkan desa preneur,” jelasnya.

Sementara itu, Dosen Universitas Kristen Duta Wacana Yogyakarta, Winta Adhitia Guspara mengatkan pihaknya bersama mahasiswa di UKDW sudah banyak melakukan penelitian terkait desain produk.

Sudah banyak yang dihasilkan produk seperti leather coco yang berasal dari limbah air kelapa, kemudian pemafaatan ampas kopi untuk upper sol sepatu, dan lain-lain.

“Karena kami berkutat di desain produk, sebenarnya banyak yang sudah kami hasilkan. Prinsip wirausaha kan menambah nilainya. Peneliian-penelitian sudah banyak dilakukan, baik dari perguruan tinggi maupun lab independen. Tetapi masalahnya kalau kampus tidak di-challenge, ya berhenti di tulisan. Sehingga kami perlu informasi, untuk bisa menangkap kebutuhan UMKM. karena kami bgerak di desain produk,”katanya. ( Tribunjogja.com )

Sumber: Tribun Jogja
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved