Puisi

Kumpulan Puisi Pramoedya Ananta Toer: Puisi Kutukan Diri , Puisi Untuk Ayah

Berikut contoh puisi karya Pramoedya Ananta Toer, sastrawan Indonesia yang namanya tentu sudah tidak asing dalam dunia sastra.

Penulis: Tribun Jogja | Editor: Ikrob Didik Irawan
pinteres.com
Puisi Pramoedya Ananta Toer 

TRIBUNJOGJA.COM - Pramoedya Ananta Toer sosok sastrawan yang tentu ketika kita mendengar namanya akan terbayang akan tulisan-tulisannya yang sangat menguncang dunia sastra itu.

Pramoedya Ananta Toer adalah sosok sastrawan yang karyanya tidak perlu diragukan lagi, karena kemahiran dan kritikan-kritikan melalui tulisanya hingga ia pernah menghabiskan hidupnya dibailik jeruji itu.

Pramoedya Ananta Toer lahir pada 6 Februari 1925 dimana selama hidupnya Pramoedya Ananta Toer menghabiskan hari-harinya dengan menulis hingga tulisannya dibaca hingga kemana-mana.

Baca juga: Kumpulan Puisi Tentang Hujan yang Menyentuh

Berikut contoh puisi karya Pramoedya Ananta Toer

1. Puisi Kutukan Diri 

Kemudian datang jua

Ini diri hampir kaku dalam rangkulan

Kemampuan jiwa

Sedang deram genderang tinggal terdengar sayup

Hampir lenyap ditelan peternakan tubuh

Berderet-deret.

Ini pengembara bantingan egoisme Hawa

Berteriak sepanjang lorong mengemis pelepasan

Dan pelepasan peretas perderetan ini peternakan

Setan ! – dia telampau besar

Dimahalkan hilangnya kebiasaan menimang anak tubuhnya.

Pengecut ! Pengecut ! ini diri belum berani

Dibiarkan juga genderang menyekarat

Di lereng-lereng lembah belum diolah

Dan matahari tambah condong

Memburu tiap diri cari selimut sembunyian.

Baca juga: Kumpulan Puisi Romantis Karya Kahlil Gibran, Sang Penyair Cinta

2. Puisi Untuk Ayah 

Tidak, Bapak, aku tak akan kembali ke kampung. Aku mau pergi yang jauh (Gadis Pantai. hal. 269)

Sebenarnya, aku ingin kembali, Ayah
Pulang ke teduh matamu
Berenang di kolam yang kau beri nama rindu
Aku, ingin kembali
Pulang menghitung buah mangga yang ranum di halaman
Memetik tomat di belakang rumah nenek.
Tapi jalanan yang jauh, cita-cita yang panjang tak mengizinkanku,
Mereka selalu mengetuk daun pintu saat aku tertidur
Menggaruk-garuk bantal saat aku bermimpi

Aku ingin kembali ke rumah, Ayah
Tapi nasib memanggilku
Seekor kuda sembrani datang, menculikku dari alam mimpi
Membawaku terbang melintasi waktu dan dimensi kata-kata

Aku menyebut pulang, tapi ia selalu menolaknya
Aku menyebut rumah, tapi ia bilang tak pernah ada rumah
Aku sebut kampung halaman, ia bilang kampung halaman tak pernah ada

Maka aku menungganginya
Maka aku menungganginya

Menyusuri hutan-hutan jati
Melihat rumput-rumput yang terbakar di bawahnya
Menyaksikan sepur-sepur yang batuk membelah tanah Jawa
Arwah-arwah pekerja bergentayangan menuju ibu kota,
Mencipta banjir dari genangan air mata

Arwah-arwah buruh menggiring hujan air mata, mata mereka menyeret banjir
Kota yang tua telah lelah menggigil, sudah lupa bagaimana bermimpi dan bangun pagi
Hujan ingin bercerai dengan banjir
Tapi kota yang pikun membuatnya bagai cinta sejati dua anak manusia

Aku tak bisa pulang lagi, Ayah, kuda ini telah menambatkan hatiku di pelananya

Orang-orang datang ke pasar malam, satu persatu, seperti katamu
Berjudi dengan nasib, menunggu peruntungan menjadi kaya raya
Tapi seperti rambu lalu lintas yang setia, sedih dan derita selalu berpelukan dengan setia

Aku tak bisa pulang lagi, Ayah, kuda ini telah menambatkan hatiku di pelananya

Orang bilang, apa yang ada di depan manusia hanya jarak. Dan batasnya adalah ufuk. Begitu jarak ditempuh sang ufuk menjauh. Yang tertinggal jarak itu juga-abadi. Di depan sana ufuk yang itu juga-abadi. Tak ada romantika cukup kuat untuk dapat menaklukan dan menggenggamnya dengan tangan-jarak dan ufuk abadi itu

(MG Anggita Pertiwi)

Sumber: Tribun Jogja
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved