Puisi

Kumpulan Puisi Karya Goenawan Mohamad

Berikut kumpulan puisi karya Goenawan Mohamad, Goenawan Mohamad dikenal sebagai penyair dan tokoh yang aktif dalam dunia jurnalistik.

Penulis: Tribun Jogja | Editor: Joko Widiyarso
Kompas.com
Kumpulan Puisi Karya Goenawan Mohamad 

TRIBUNJOGJA.COM - Goenawan Mohamad atau dengan nama lengkap Goenawan Soesatyo Mohamad lahir pada 29 Juli 1941 di Batang.

Goenawan Mohamad dikenal sebagai penyair dan tokoh yang aktif dalam dunia jurnalistik hingga bersama dengan teman-temannya Goenawan Mohamad mendirikan suatu majalah dengan nama Majalah Mingguan Tempo.

Karya pertama yang ditulis oleh Goenawan Mohamad dikumpulkan dalam kumpulan puisi 'Manifestasi' yang diterbitkan pada rubik kebudayaan Harian Abadi. Goenawan Mohamad menghabiskan hari-harinya dalam menulis selain berkarir dalam dunia sastra ia juga bergelut dengan bidang jurnalistik.

Berikut contoh puisi karya Goenawan Mohamad salah satu sastrawan ternama miliki Indonesia yang telah menulis banyak puisi indah.

1. Puisi Misalkan Kita Di Sarajevo Goenawan Mohamad

Buat B.B dan kawan-kawan

Misalkan kita di Sarajevo; mereka akan mengetuk
dengan kanon sepucuk
dan bertanya benarkah ke Sarajevo
ada secelah pintu masuk.

Misalkan kita di Sarajevo: tembok itu,
dengan luka-luka peluru,
akan bilang “tidak”,
selepas galau.

Tapi kau tahu musim, di Sarajevo
akan mematahkan engsel,
dingin akan menciutkan tangan,
dan listrik lindap.

Baca juga: Kumpulan Puisi Karya Amir Hamzah, Raja Penyair Pujangga Baru

Orang-orang akan kembali
dari kedai minum,
dan memandangi hangus
di loteng-loteng.

Apakah yang mereka saksikan sebenarnya
di Sarajevo: sebentang samun,
tanah yang redam?
Apakah yang mereka saksikan sebenarnya?

Keyakinan dipasak
di atas mihrab dan lumbung gandung
dan tak ada lagi
orang membaca.

Hanya mungkin pada kita
masih ada seutas tilas,
yang tak terseka. Atau barangkali
sebentuk asli katahati?

Misalkan, misalkan, di Sarajevo: bulan
tak meninggalkan replika,
di dekat menara, tinggal warna putih
yang hilang dari azan

Misalkan angin juga kehilangan
perangai
di pucuk-pucuk poplar kuning
dan taman yang tak bergerak.

Pasti nenek peri, dengan suara kanker di perut,
akan berkata,
“Tinggal cobaan dalam puasa
di padang gurun, di mana kau tak bisa.”

Mengapa kita di Sarajevo?
Mengapa gerangan kita pertahankan kota ini?
Seperti dalam sebuah kisah film,
Sarajevo tak bisa takluk.

Kita tak bisa takluk
Tapi keluar dari gedung rapat umum,
orang-orang sipil
akan mengenakan baju mereka yang terbaik,

mencium pipi para isteri, ramah tapi gugup,
meskipun mereka, di dalam saku,
menyembunyikan teks yang gaib itu:
“Bukan roti, melainkan firman.”

Batu-batu di trotoar ini
memang tak akan bisa jadi roti
cahaya salju di kejauhan itu
juga tak akan jadi firman

Tapi misalkan kita di Sarajevo
Di dekat museum itu kita juga akan takzim
membersihkan diri: Biarkan aku mati
dalam warna kirmizi.”

Lalu aku pergi
kau pergi, berangkat, tak memucat
seperti awal pagi
di warna kirmizi

2. Puisi Dingin Tak Tercatat Goenawan Mohamad

Dingin tak tercatat
pada termometer
Kota hanya basah

Angin sepanjang sungai
mengusir, tapi kita tetap saja
di sana. Seakan-akan

gerimis raib
dan cahaya berenang
mempermainkan warna.
Tuhan, kenapa kita bisa
bahagia?

Baca juga: Kumpulan Puisi Karya Buya Hamka Sosok Pahlawan Indonesia dan Juga Sastrawan

3. Puisi Asmaradana Goenawan Mohamad

Ia dengar kepak sayap kelelawar dan guyur sisa
hujan dari daun,
karena angin pada kemuning. Ia dengar resah kuda
serta langkah
pedati ketika langit bersih kembali menampakkan
bimasakti,
yang jauh. Tapi di antara mereka berdua, tidak ada
yang berkata-kata.

Lalu ia ucapkan perpisahan itu, kematian itu. Ia
melihat peta,
nasib, perjalanan dan sebuah peperangan yang tak
semuanya disebutkan.

Lalu ia tahu perempuan itu tak akan menangis.
Sebab bila esok pagi pada rumput halaman ada tapak yang menjauh
ke utara, ia tak akan mencatat yang telah lewat dan yang
akan tiba, karena ia tak berani lagi.

Anjasmara, adikku, tinggallah, seperti dulu.
Bulan pun lamban dalam angin, abai dalam waktu.
Lewat remang dan kunang-kunang, kaulupakan
wajahku, kulupakan wajahmu.

4. Puisi Sajak Untuk Bungbung Goenawan Mohamad

Tiap tengah malam hujan mendarat

pada atap anak yang mimpi

Tentang seorang pilot, tanpa pesawat

di atas sawah dan pagi hari

Cemas itu, nak, memang telah jadi umum

dan akan sampai pula kemari

Nah rapikan rambutmu sebelum kucium

dengan tangkai daun yang lama mati

5. Puisi Perjalanan Malam Goenawan Mohamad

Wer reitet so spat durch Nacht und Wind?
Er ist der Vater mit seinem Kind
- GOETHE

Mereka berkuda sepanjang malam,
sepanjang pantai terguyur garam.
Si bapak memeluk dan si anak dingin,
menembus kelam dan gempar angin.

Adakah sekejap anak tertidur,
atau takutkan ombak melimbur?
“Bapak, aku tahu langkah si hantu,
ia memburuku di ujung itu.”

Si bapak diam meregang sanggurdi,
merasakan sesuatu akan terjadi.
“Kita teruskan saja sampai sampai,
sampai tak lagi terbujur pantai.”
“Tapi ‘ku tahu apa nasibku,
lepaskanlah aku dari pelukmu.”
“Tahanlah, buyung, dan tinggallah diam,
mungkin ada cahaya tenggelam.”

Namun si hantu tak lama nunggu:
dilepaskannya cinta (bagai belenggu).
Si anak pun terbang ke sebuah cuaca:
“Bapak, aku mungkin kangen di sana.”

(MG Anggita Pertiwi)

Sumber: Tribun Jogja
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved