Berita Jogja Hari Ini

Buruh di DI Yogyakarta Inginkan UMK Naik 15 Persen, Begini Tanggapan Disnakertrans DIY

Koordinator Majelis Pekerja Buruh Indonesia (MPBI) DIY, Irsad Ade Irawan mengatakan kondisi upah di wilayah setempat dinilainya sudah terlalu murah.

Penulis: Miftahul Huda | Editor: Kurniatul Hidayah
dok.istimewa
Ilustrasi upah atau gaji 

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Kalangan buruh di DIY kembali menyuarakan aspirasinya terkait pengupahan layak pada 2024 mendatang.

Mereka meminta kenaikan upah minimum kabupaten/kota sebesar 15 hingga 50 persen diempat kabupaten dan satu kota di DIY.

Pertimbangannya karena ekonomi di Indonesia sudah pulih pasca pandemi Covid-19.

Koordinator Majelis Pekerja Buruh Indonesia (MPBI) DIY, Irsad Ade Irawan mengatakan kondisi upah di wilayah setempat dinilainya sudah terlalu murah.

Bahkan angka kebutuhan hidup layak (KHL) pekerja jauh lebih tinggi dibandingkan dengan UMK setempat. 

Baca juga: Menag RI Klaim Terus Lakukan Pencarian Terhadap Seorang Jemaah Haji yang Hilang di Saudi Arabia

Diketahui bahwa besaran UMK paling tinggi di DIY dipegang oleh Kota Yogakarta dengan nilai Rp2.324.775 sementara yang terendah dialami oleh Kabupaten Gunungkidul yaitu sebesar Rp2.049.266.

"Pada prinsipnya UMK di DIY harus ada kenaikan 15-50 persen. Ekonomi Indonesia sudah membaik setelah pandemi Covid-19. Upah di DIY sudah terlalu murah, bahkan angka KHL lebih tinggi dari UMK," katanya, Senin (23/10/2023). 

Menurut Irsad, Indonesia sudah masuk ke dalam upper middle income country atau negara berpenghasilan menengah dengan hitungan nilai Rp5,6 juta per bulan. 

Maka kenaikan upah sebesar 15 persen-50 % dinilainya penting karena akan berkontribusi terhadap APBN melalui pembayaran pajak. 

"Kenaikan upah sebesar 15 % -50 % tetap penting karena akan berkontribusi terhadap APBN melalui pembayaran pajak dan produktivitas yang dihasilkan melalui barang dan jasa," ucapnya. 

Menanggapi hal ini, Kepala Disnakertrans DIY, Aria Nugrahadi mengaku sampai sekarang masih menunggu regulasi dari Pusat soal kebijakan pembahasan UMP dan UMK 2024. 

"Kami masih menunggu regulasi untuk pengupahan dari kementerian. Jadi masih menunggu," katanya.

Aria menjelaskan, semenjak Undang-undang Cipta Kerja Omnibus Law diberlakukan kebijakan pembahasan UMP dan UMK akan mengacu pada besaran pertumbuhan ekonomi dan juga inflasi masing-masing wilayah dengan formula dari kementerian. 

"Acuan penetapan tetap mempertimbangkan pertumbuhan ekonomi dan inflasi," jelasnya.

Sementara BPS baru akan merilis data pertumbuhan terakhir triwulan akan keluar pada akhir Oktober 2023. (hda)

Sumber: Tribun Jogja
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved