Berita Jogja Hari Ini

Digelar di 13 Titik Lokasi, Puluhan Seniman Asia dan Eropa Timur Semarakkan Biennale Jogja 17

Biennale Jogja 17 yang berlangsung di 13 titik lokasi akan mulai digelar pada 6 Oktober sampai 25 November 2023 mendatang. Pergelaran ini akan menghad

Penulis: R.Hanif Suryo Nugroho | Editor: Kurniatul Hidayah
TRIBUNJOGJA.COM/Hanif Suryo
Satu di antara karya yang dipamerkan di Biennale Jogja 17, di Taman Budaya Yogyakarta, Kamis (5/10/2023). 

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Biennale Jogja 17 yang berlangsung di 13 titik lokasi akan mulai digelar pada 6 Oktober sampai 25 November 2023 mendatang.

Pergelaran ini akan menghadirkan lebih dari 60 seniman dan kelompok seni dari Indonesia serta negara-negara di Asia Selatan serta Eropa Timur.

Adapun pembukaan Biennale Jogja 17 akan berlangsung di Kampoeng Mataraman, Panggungharjo, Sewon, Jumat (6/10/2023), dengan menghadirkan penampilan karya kolaborasi antara Monica Hapsari dan ibu-ibu Dusun Sawit, Desa Panggungharjo.

Baca juga: Ratusan Warga di Tiga Padukuhan di Banyurejo Sleman Krisis Air Bersih 

Ada pula penampilan dari Wangak Maumere. Sementara pembukaan pada 8 Oktober 2023 di Sekar Mataram Bangunjiwo akan menghadirkan karya kolaborasi antara Arum Dayu dan ibu-ibu Dusun Ngentak, Desa Bangunjiwo.

Selain di Kampoeng Mataraman, 13 titik lokasi yang menjadi venue Biennale Jogja 17 di antaranya terletak di Taman Budaya Yogyakarta, area Desa Panggungharjo, area Desa Bangunjiwo, dan area Madukismo.

Di Panggungharjo, pameran dapat diakses di Kantor Kelurahan Panggungharjo, Kampoeng Mataraman, Gedung Olahraga Panggungharjo, The Ratan, Kawasan Budaya Karang Kitri.

Sementara untuk Area Desa Bangunjiwo, pameran dapat diakses di Kantor Kelurahan Bangunjiwo, Lohjinawi, Sekar Mataram, Monumen Bibis, Joning Artspace, dan Rumah Tua.

Selain pameran utama, program publik juga akan dirangkai dalam berbagai bentuk, mulai dari pertunjukan, pemutaran film, diskusi, dan sebagainya. Beberapa acara yang termasuk dalam Public Program, misalnya Tangga Teparo, Pameran Seni Rupa Anak, Baku Pandang, Tur Kuratorial, Wicara Kurator, Bentang Silir, Pilin Takarir, dan Biennale Forum.  


Direktur Yayasan Biennale Yogyakarta, Alia Swastika mengungkapkan, Biennale Jogja 17 mengusung praktik kesenian yang lebih partisipatoris dengan masyarakat. Berpindah ke beberapa titik yang tersebar di pinggiran Yogyakarta untuk membuka percakapan jangka panjang dari ragam latar belakang budaya berbeda.
Biennale Jogja menghimpun pengertian tentang desa sebagai ruang dinamis yang terus berubah dan bergeser, dan melihat bagaimana perhelatan seni juga dapat menjadi ruang mencari solusi bersama untuk merawat lingkungan dan perubahan iklim.

Keterlibatan masyarakat lokal juga menjadi titik tekan dalam Biennale Jogja 17 ini. Meski pada gelaran sebelumnya juga selalu dilakukan.

"Kolaborasi masyarakat lokal sebenarnya dari dulu, ada seniman residensi terus berkolaborasi cuma justru yang kita pikirkan setelah bertahun-tahun. Kita kolaborasi karyanya dipindah ke galeri, masyarakatnya gak bisa lihat. Kalau dulu selalu gitu. Justru dengan metode sekarang, masyarakat ambil bagian atau mereka bisa nonton yang dihasilkan sama senimannya. Tidak berjarak lagi," ujar Alia.

Lebih lanjut Alia mengatakan, Biennale Jogja 17 mengusung tajuk 'Titen', yang menjadi istilah yang dipilih untuk mewakili nuansa Biennale Jogja yang erat dengan praktik observasi. Titen menjadi frasa yang mengantarkan spirit pengetahuan lokal, yang dileburkan dalam nilai-nilai keseharian.

Dalam praktik di tahun ini, seni tidak seharusnya berjarak dengan masyarakat luas karena hakikatnya seni adalah praktik kehidupan. Titen menjadi ruang untuk para seniman menggunakan kembali metode penggalian pengetahuan yang berangkat dari lingkungan yang dekat dengan keseharian.

"Kalau orang Jawa niteni, ketoke arep udan wis tak titeni (sepertinya mau hujan sudah ditandai). Titen metode menandai pengetahuan. Banyak sekali di antara tema atau karya seniman ini menggarisbawahi itu," ujarnya.

"Masyarakat punya cara membangun pengetahuan yang berbeda, yang berdasar amatan terhadap tanaman, binatang, yang itu turun temurun. Kita cari di buku gak ada, kalau rumah didatangi kupu2-kupu mau ada tamu, di buku gak ada sebenarnya. Kita ingin mencari pengetahuan-pengetahuan yang mungkin belum menjadi teori, belum terdokumentasikan," pungkasnya. (Han)

Sumber: Tribun Jogja
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved