Social Commerce Bisa Jadi Peluang UMKM Perluas Pasar, Tapi Perlu Ada Regulasi Yang Jelas

Pemerintah melarang melarang TikTok Shop sebagai media berjualan melalui Permendag Nomor 31 Tahun 2023 tentang Ketentuan Perizinan Usaha, Periklanan

Penulis: Christi Mahatma Wardhani | Editor: Kurniatul Hidayah
DOK. Istimewa
Ilustrasi belanja online 

Laporan Reporter Tribun Jogja Christi Mahatma Wardhani

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Pemerintah melarang melarang TikTok Shop sebagai media berjualan melalui Permendag Nomor 31 Tahun 2023 tentang Ketentuan Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE). 

Dengan pelarangan itu, TikTok hanya boleh digunakan untuk media promosi saja. 

Menurut Wakil Ketua Umum Bidang Organisasi dan Keanggotaan Kadin DIY, Robby Kusumaharta pelarangan bukan jadi satu-satunya jalan keluar. Pemerintah perlu mengatur tata niaga supaya perdagangan melalui sistem elektronik lebih sehat. 

"Jangan ditutup, tidak selalu dilarang. Ada tata niaga supaya sehat, bisa lewat bea cukai atau lainnya. Memang perlu regulasi, supaya bisa melindungi produk dalam negeri," katanya, Rabu (04/10/2023). 

Ia menilai social commerce merupakan perkembangan teknologi yang tidak bisa dihindari. Sehingga pelaku UMKM konvensional pun mau tak mau harus mengikuti perkembangan tersebut. 

"Pedagang konvensional harus masuk ke transformasi digital. Harus mengikuti tren. Tetapi dalam marketing itu terkadang masih membutuhkan touching (masih perlu menyentuh). Makanya ada hybrid, online jalan tetapi offline juga jalan. Tetapi perlu regulasi tata niaga yang sehat," lanjutnya. 

Sementara itu, Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Esther Sri Astuti mengungkapkan penjalan melalui social commerce selalu meningkat setiap tahunnya. Diprediksi ada kenaikan transaksi hingga tiga kali lipat pada 2026 mendatang. 

Social commerce, kata dia, memberikan peluang besar bagi pelaku UMKM untuk meningkatkan pangsa pasarnya secara masif. Pasalnya promosi melalui sosial commerce bisa menjangkau pasar yang lebih luas, tidak hanya di dalam kota, tetapi antarkota, antarprovinsi, bahkan lintas negara. 

"Sebenarnya peluang besar bagi UMKM. Karena biaya promosinya jauh lebih murah, cukup posting saja. Jauh lebih murah dari pada harus memasang iklan. Dampaknya ke ekonomi luar biasa, kalau digunakan secara baik oleh masyarakat," ungkapnya. 

Digital Ekonomy Researcher INDEF, Nailul Huda menyebut pelarangan TikTok Shop tidak lantas membuat pasar tradisional akan kembali ramai. Karena masyarakat sudah bisa berbelanja melalui e-commerce. 

Penutupan TikTok Shop justru akan menghambat inovasi, sehingga inovator akan berpikir ulang melakukan inovasi. 

"Ini menjadi sinyal kurang baik buat inventor untuk bisnis model baru. Dalam ekonomi digital pasti akan ada model bisnis baru. 10 tahun lalu mungkin belum ada, tetapi sekarang sudah ada," terangnya. 

Huda juga menyoroti tidak ada persentase etalase bagi produk dalam negeri sebagaimana ada aturan untuk ritel modern. Sebaiknya aturan 30 persen etalase produk dalam negeri di ritel modern juga diterapkan di PMSE. 

"Belum ada kewajiban bagi PMSE untuk melakukan taging produk impor di setiap PMSE. Padahal taging ini sangat penting untuk membuat kebijakan mengenai barang impor di PMSE. Dengan adanya taging pemerintah bisa mendapatkan gambaran riil banjirnya produk impor," ujarnya. (maw) 
 

Sumber: Tribun Jogja
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved