Soal Wacana Penghapusan Skripsi Sebagai Syarat Kelulusan, Dewan Pendidikan DIY: Tidak Ada Persoalan
Dia mencontohkan, sejumlah perguruan tinggi saat ini ada yang menerapkan program Tugas Akhir Bukan Skripsi (TABS) sebagai syarat kelulusan. Hanya saja
Penulis: Yuwantoro Winduajie | Editor: Kurniatul Hidayah
TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) tidak lagi mewajibkan skripsi sebagai standar kelulusan mahasiswa jenjang S1 dan D4 di perguruan tinggi.
Dengan demikian, skripsi tidak diwajibkan sebagai syarat kelulusan. Adapun syarat kelulusan diserahkan kepada setiap kepala program (kaprodi) pendidikan di perguruan tinggi tersebut.
Menyikapi hal itu, Ketua Dewan Pendidikan DIY, Profesor Sutrisno Wibowo menganggap kebijakan penghapusan skripsi bukanlah hal baru.
Baca juga: Jersey PSIM Jogja 2023/24 Dibanderol Rp 330 Ribu
Dia mencontohkan, sejumlah perguruan tinggi saat ini ada yang menerapkan program Tugas Akhir Bukan Skripsi (TABS) sebagai syarat kelulusan. Hanya saja memang kurang populer.
"Sebenarnya ide-ide itu sudah ada sebelumnya. Kalau dulu namanya TABS, Tugas Akhir Bukan Skripsi. Itu sudah lama sebenarnya hanya itu tidak populer," jelas Sutrisno, Rabu (30/8/2023).
Dewan Pendidikan DIY tidak mempermasalahkan adanya penghapusan skripsi.
Sebab dengan demikian, mahasiswa dapat menentukan bentuk tugas akhir yang paling tepat untuk menunjukkan kompetensinya selama mengemban ilmu di perguruan tinggi.
Misalnya dengan mengembangkan sebuah inovasi atau menggarap proyek khusus sesuai dengan bidang ilmu.
"Tidak ada persoalan sepanjang nilai akademiknya itu merupakan akumulasi dari praktek atau riset dari mahasiswa. Itu hanya persoalan bentuk saja, seperti pisang itu ya kan bisa digodok, bisa digoreng, lalu bisa dibakar. Tapi pisangnya sama, rasanya sama. Nggak bisa berubah pisangnya jadi alpukat kan enggak bisa," jelasnya.
Jika tidak ada skripsi maka mahasiswa juga tidak akan lagi dibatasi untuk berinovasi. Sebab selama ini, inovasi mahasiswa dalam tugas akhir wajib diolah dengan sistematika skripsi.
Sutrisno pun meyakini penghapusan skripsi tidak akan mempengaruhi output mahasiswa yang diluluskan perguruan tinggi.
"Kalau dulu kan dipaksakan karya inovatif pun dipaksakan sistematika skripsi. Sekarang kan enggak sistematikanya disesuaikan dengan karya itu," ujarnya.
Meski demikian, perguruan tinggi harus mencari alternatif skripsi untuk syarat kelulusan mahasiswa. Misalnya tugas akhir untuk membuat prototipe atau sebuah proyek.
Terlebih kampus juga memiliki otonomi akademik untuk mengembangkan kurikulum mengacu pada standar nasional maupun standar yang ditetapkan perguruan tinggi itu sendiri.
Sebab, tiap perguruan tinggi tentunya memiliki visi dan misi, keunggulan, dan fokus yang berbeda.
Maka tak menutup kemungkinan bentuk tugas akhir di tiap perguruan tinggi akan berbeda.
"Kan perguruan tinggi punya otonomi akademik. Beda dengan sekolah. Kalau sekolah kan masih diatur oleh birokrasi tapi kalau perguruan tinggi kurikulumnya mengatur sendiri," jelasnya. (tro)
Kondisi Chromebook Bantuan Kemendikbudristek Era Nadiem Makarim di Klaten |
![]() |
---|
Kejagung Kembali Panggil Sejumlah Saksi Kasus Dugaan Korupsi Chromebook di Kemendikbudristek |
![]() |
---|
Jawaban Mantan Dosen Fakultas Kehutanan UGM yang Terseret Kasus Ijazah Jokowi |
![]() |
---|
UGM Tegaskan Ijazah Joko Widodo Asli, Ini Judul dan Link Dokumen Skripsi Jokowi |
![]() |
---|
Cerita Mega Setya Handayani, Alumni UNY Lulus Kuliah Tanpa KKN dan Skripsi IPK 3,95 |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.