ADVERTORIAL

DP3AP2 DIY : Salah Pola Asuh Bisa Jadi Penyebab Toxic Family

Toxic family cenderung saling menyakiti, baik fisik maupun non fisik. Anggota keluarga juga tidak saling mendukung, malah saling menjatuhkan.

Penulis: Christi Mahatma Wardhani | Editor: Gaya Lufityanti
istimewa
Kepala DP3AP2 DIY, Erlina Hidayati Sumardi (kiri) dan Komisi D DPRD DIY, Rita Nur Mastuti (kanan) berbincang mengenai toxic family dalam Family Talk 

Laporan Reporter Tribun Jogja, Christi Mahatma Wardhani

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Kepala DP3AP2 DIY, Erlina Hidayati Sumardi menyebut pola asuh yang tidak baik dapat berakibat pada toxic family.

Hal itu karena pola asuh akan terbawa hingga dewasa bahkan hingga berkeluarga. 

"Kalau terbawa perilaku yang baik, tentu akan jadi karakter perilaku baik, sehingga kecenderungan toxic bisa terhindarkan, semua nyaman. Apalagi kalau menikah itu kan bisa pola asuhnya berbeda, sehingga suami istri ini juga perlu adaptasi. Kalau tidak berhasil ya bisa jadi toxic. Dan ini seperti mata rantai, ya muter terus," katanya dalam Family Talk. 

Toxic family cenderung saling menyakiti, baik fisik maupun non fisik.

Anggota keluarga juga tidak saling mendukung, malah saling menjatuhkan, membandingkan dengan anggota keluarga lain.

Baca juga: DP3AP2 Bersama DPRD DIY Tanggapi Persoalan Ketidakharmonisan Jalinan Komunikasi Keluarga

Hal tersebut tentunya membuat keluarga tersebut tidak nyaman, baik lahir maupun batin. 

Dampak toxic family pun beragam. 

Tentu saja anggota keluarga akan mengalami tekanan, jika tidak tertangani dapat berakibat membuat stres, dan parahnya lagi depresi.

Berada di toxic family juga membuat anggota keluarga tidak percaya diri dan merasa tidak berguna.

Hal itu karena perbuatan anggota keluarga yang sering dianggap salah. 

"Ada kalanya sulit percaya dengan orang lain. Bisa jadi pribadi yang suka cemas. Sering memandang berkeluarga itu jadi tidak menyenangkan. Bahkan sangat mungkin ada pemikiran untuk tidak berkeluarga, atau tidak memiliki anak. Ya karena punya trauma tersendiri," terangnya. 

Semua anggota berpotensi menjadi korban toxic family, baik suami, istri, dan juga anak. Menurut dia, komunikasi adalah kunci agar terhindar dari toxic family.

Namun komunikasi ini tentu harus disesuaikan dengan budaya komunikasi di masing-masing keluarga

"Ada yang budaya komunikasinya lugas, tapi ada juga yang mlipir-mlipir dulu, ya disesuaikan saja. Tetapi apa yang membuat tidak nyaman itu harus keluar (disampaikan). Sehingga bisa berdiskusi, dan mencari jalan keluar bersama. Kalau tidak ada komunikasi, ya permasalahan tidak selesai,"ujarnya. 

"Nah kalau sudah coba komunikasi, ternyata di dalam keluarga tidak selesai, ya coba minta tolong orang lain. Bisa pakde budhe, atau siapapun  yang dianggap bijaksana. Kalau masih belum berhasil ya coba ke profesional, kami juga ada pusat pembelajaran keluarga,"sambungnya. 

Komisi D DPRD DIY, Rita Nur Mastuti mengungkapkan anak adalah anggota keluarga yang paling merasakan dampak dari toxic family sehingga ia mendorong agar masyarakat merencanakan pernikahan. 

Baca juga: DP3AP2 DIY Catat Ada 654 Kasus Kekerasan Pada Perempuan dan Anak di DI Yogyakarta

"Membentuk keluarga harus direncanakan, siap mentalnya, harus berkomitmen. Ada dua orang berbeda yang disatukan dal keluarga. Diharapkan nanti memiliki keturunan. Harus bisa menerima kekurangan, sehingga tidak menyakiti verbal maupun fisik. Karena berpengaruh dalam keluarga dan keturunannya," ungkapnya. 

"Dampaknya untuk anak, bisa jadi kreativitasnya terhambat, takut berbuat sesuatu. Karena selama ini perbuatannya dianggap salah. Tentu anak ini jadi tidak berkembang dengan baik," tandasnya.

Rita menyebut toxic family juga bisa terjadi jika keluarga itu tidak mandiri dan mendapat intervensi dari pihak luar sehingga komitmen dan kesamaan visi misi, hingga pola asuh antara suami dan istri sangat penting. 

Komunikasi juga menjadi faktor penting agar terhindar dari toxic family.

Namun yang paling utama adalah menyadari kekurangan diri, mau menerima kekurangan anggota keluarga, dan mengapresiasi kelebihan anggota keluarga

"Sehingga akan tercipta komunikasi yang baik, mau mengevaluasi diri. Karena semua bisa jadi pelaku toxic juga lho. Makanya menerima kekurangan dan kelebihan anggota keluarga itu penting, sehingga bisa berbenah, dan keluarga bisa lebih bahagia dan berkembang," imbuhnya. ( Tribunjogja.com

Sumber: Tribun Jogja
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    Komentar

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved