Malam 1 Suro di Jogja

INI Perbedaan Tradisi Malam Satu Suro di Keraton Yogyakarta dan Surakarta, Kirab Kebo Bule di Solo

Apa perbedaan tradisi malam satu suro di Keraton Yogyakarta dan Surakarta? Simak penjelasannya di artikel ini ya, Tribunners!

KOMPAS.com
Mubeng Beteng 

Selama berjalan kaki, peserta tidak mengeluarkan sepatah katapun dan hanya diam dengan tatapan mata lurus ke depan.

Baca juga: 34 Twibbon Tahun Baru Islam 1445 H - 2023, Hembuskan Nafas Islami di Foto Profil

Keheningan total selama perjalan adalah simbol perenungan diri atau tirakat sekaligus keprihatinan terhadap segala perbuatan selama setahun terakhir.

Ritual ini juga diikuti abdi dalem serta bregodo Keraton Yogyakarta, perwakilan dari masing-masing kabupaten/kota di DIY, dan juga masyarakat umum.

Para perwakilan membawa panji-panji (bendera) dari masing-masing kabupaten/kota, yaitu Kabupaten Sleman, Bantul, Gunungkidul, Kulonprogo dan Kota Yogyakarta.

Tradisi Malam Satu Suro di Keraton Surakarta

Keraton Surakarta juga memiliki tradisi malam satu suro yang dilaksanakan pada malam tanggal 1 Muharram.

Dilansir dari Kompas.com, Kirab Satu Suro di Keraton Surakarta merupakan tradisi turun temurun yang sudah berusia ratusan tahun.

Sejarah Kirab Satu Suro di Keraton Surakarta berasal pada masa pemerintahan Raja Pakubuwono X yang bertahta pada periode 1893 – 1939.

Pakubuwono X rutin berkeliling tembok Baluwarti setiap Selasa dan Jumat kliwon, berdasarkan penanggalan Jawa.

Rutinitas ini kemudian berubah menjadi sebuah tradisi yang terus dilestarikan oleh kerabat Keraton Solo hingga saat ini.

Acara Kirab Satu Suro di Keraton Surakarta ini juga identik dengan penggunaan kebo bule, sehingga kerap disebut dengan Kirab Kebo Bule.

Dilansir dari laman pariwisatasolo.surakarta.go.id, pada malam ritual tersebut, ribuan orang akan berpartisipasi,mulai dari Raja beserta keluarga dan kerabat, abdi dalem wilayah Solo Raya, dan masyarakat umum.

Baca juga: Dua Jemaah Haji Asal Bantul Meninggal Dunia dan Dimakamkan di Tanah Suci, Ini Daftarnya

Semua peserta kirab menggunakan pakaian warna hitam, dimana peserta laki-laki menggunakan pakaian adat Jawa yang dikenal dengan busana jawi jangkep dan peserta wanita menggunakan kebaya berwarna hitam.

Tak ketinggalan juga Kebo Bule keturunan dari Kebo Kyai Slamet sebagai cucuk lampah kirab.

Pada pelaksanaan kirab, biasanya barisan kebo bule akan berjalan di depan beserta pawangnya.

Disusul barisan abdi dalem bersama putra-putri sinuhun dan juga para pembesar yang membawa sepuluh pusaka Keraton.

Selama prosesi kirab berlangsung, peserta kirab tidak mengucapkan satu patah kata, yang memiliki makna perenungan diri terhadap apa yang sudah dilakukan selama setahun kebelakang.

 

( Tribunjogja.com / Bunga Kartikasari )

Sumber: Tribun Jogja
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved