Berita Bisnis Terkini
REI DIY Ungkap Harga Tanah hingga Tak Ada Kota Satelit Jadi Kendala Rumah Subsidi di DIY
Tingginya harga tanah yang di DIY membuat pengembang akan kesulitan menyediakan rumah subsidi untuk masyarakat.
Penulis: Christi Mahatma Wardhani | Editor: Gaya Lufityanti
Laporan Reporter Tribun Jogja, Christi Mahatma Wardhani
TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Pemerintah resmi menaikan harga rumah subsidi untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Keputusan tersebut tertuang dalam Keputusan Menteri (Kepmen) PUPR Nomor 689/KPTS/M/2023.
Untuk wilayah Jawa (kecuali Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi) dan Sumatra (kecuali Kepulauan Riau, Bangka Belitung, Kepulauan Mentawai) untuk tahun 2023 sebesar Rp 162 juta dan mulai tahun 2024 sebesar Rp 166 juta.
Ketua DPD REI DIY, Ilham Muhammad Nur mengatakan kenaikan harga rumah subsidi memang sudah dinantikan oleh pengembang sejak lama.
Apalagi organisasi REI sudah beberapa kali mengusulkan kenaikan harga.
"Berat ngejar rumah subsidi (bagi pengembang), walaupun kami senang pemerintah memperhatikan. Baru ada kenaikan setelah 5 tahun. Tetapi kenaikan itu bagi DIY masih kurang. Dari kondisi harga tanah, tentu pasokannya tidak besar. Ya paling tidak jadi Rp200juta,"katanya, Rabu (05/07/2023).
Baca juga: Harga Rumah Subsidi 2023-2024 di Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Bali, Babel, hingga Papua
Ia menyebut pasokan rumah subsidi di DIY hanya sekitar 200-300 unit.
Hal itu karena tingginya harga tanah yang di DIY. Sehingga pengembang akan kesulitan menyediakan rumah subsidi untuk masyarakat.
"Tahun kemarin sekitar 400 unit rumah subsidi, itu dari pengembang dan produksi masyarakat. Kami pengembang kesulitan melakukan suplai, karena tingginya harga tanah di DIY. Sebagai orang bisnis, kan harus mendapatkan untung," ujarnya.
Sementara itu, Wakil Ketua DPD REI DIY Bidang Perumahan Subsidi dan MBR, Hajar Pamundi sepakat tingginya harga di DIY membuat pengembang berpikir ulang untuk menyediakan rumah subsidi.
Meskipun ada beberapa anggotanya yang "bermain" di rumah subsidi .
"Harga tanah itu porsinya sekitar 30 persen, cukup tinggi. Mencari di Kota Yogyakarta, Sleman, Bantul sangat sulit. Untuk harga Rp162juta, tanah yang ideal sekitar Rp100 - 200ribu. Kalau ada pun itu agak jauh, di gunung atau bukit. Masih ada land clearing juga, matangnya (biaya akhir untuk tanah) tetap tinggi,"ungkapnya.
"Berbeda dengan daerah yang harga tanahnya masih Rp100ribu, tanah datar. Secara nasional anggota REI yang bermain di rumah subsidi banyak, tetapi kalau untuk Jogja sedikit. Di Bali juga sedikit, karena masalah tanah masih jadi kendala utama,"sambungnya.
Saat ini rumah subsidi yang dikembangkan oleh anggota REI DIY lebih banyak di daerah Bantul.
Sementara rumah subsidi di Gunungkidul dikembangkan oleh pengembang lain yang bukan anggota REI DIY.
"Kalau untuk Kulonprogo susah juga kalau pengembang masuk di sana. Karena harga tanahnya juga tinggi. Kalau Kulonprogo ya agak jauh, nanti berdampak lagi pada serapannya, karena konsumen juga kejauhan,"terangnya.
Baca juga: Tahun Ini Harga Rumah Subsidi di Yogyakarta Naik Jadi Rp 162 juta
DIY Tidak Punya Kota Satelit
Hajar menyebut kebutuhan rumah subsidi di DIY sangat tinggi, namun tidak berbanding lurus dengan ketersediaannya.
Terlebih lokasi rumah subsidi yang relatif jauh, sementara aktivitas masyarakat di DIY masih terpusat di perkotaan.
Berbeda dengan Jakarta, yang memiliki kota satelit seperti Bogor. Di Jakarta, kata dia, banyak kota industri di sekitar Jakarta, didukung juga oleh transportasi publik yang terintegrasi.
"Sehingga jarak rumah nggak terlalu masalah, dengan transportasi publik sejam gitu masih bisa. Tetapi kalau di Jogja agak susah, karena Jogja nggak punya kota satelit, semua terpusat di kota. Sehingga masyarakat akan mikir (kalau beli rumah subsidi yang jauh). Misal ketersediaan rumah di Gunungkidul, tetapi kebutuhannya nggak di situ, jadi nggak klop," terangnya.
"Dari sisi transportasi publik yang terintegrasi juga masih kurang mendukung. Karena karakter orang Jogja beda. Kebanyakan pakai kendaraan pribadi, motor. Sehingga jarak itu jadi pertimbangan," lanjutnya.
Ia menambahkan pengembang masih bisa mendapat profit.
Namun tergantung dengan kecepatan proses bangun, serapan, dan kecepatan administrasi perbankan. ( Tribunjogja.com )
Jelang Natal, Perajin Patung Rohani di Bantul Banjir Pesanan |
![]() |
---|
KAI Daop 6 Yogyakarta Siap Dukung Program Angkutan Motor Gratis Periode Natal 2024 |
![]() |
---|
Transaksi Pembayaran Jadi Katalisator Pertumbuhan Ekonomi yang Berkelanjutan |
![]() |
---|
Sambut Libur Akhir Tahun, YIA Kulon Progo Akan Turunkan Tarif PJP2U dan PJ4U hingga 50 Persen |
![]() |
---|
Truk Mogok di Perlintasan Kereta Wilayah Purwokerto, Sejumlah KA Alami Kelambatan |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.