Berita Pendidikan Hari Ini

Pakar Geografi UGM Sebut Mitigasi Perubahan Iklim Lebih Penting Dibanding Adaptasi

Setiap negara, tidak terkecuali Indonesia, perlu mencari cara untuk menurunkan emisi gas rumah kaca yang menjadi pemicu adanya perubahan iklim.

Penulis: Ardhike Indah | Editor: Gaya Lufityanti
dok.ist/net
ilustrasi 

Laporan Reporter Tribun Jogja, Ardhike Indah

TRIBUNJOGJA.COM, SLEMAN - Persoalan perubahan iklim menjadi masalah setiap negara.

Maka, setiap negara, tidak terkecuali Indonesia, perlu mencari cara untuk menurunkan emisi gas rumah kaca yang menjadi pemicu adanya perubahan iklim.

Pakar Iklim dan Bencana Dr. Emilya Nurjani, S.Si., M.Si menjelaskan, mitigasi perubahan iklim lebih penting dibanding adaptasi.

“Mitigasi yang bisa kita lakukan secara terukur itu bisa dilihat dari sumbernya. Ada enam sumber utama, yaitu pembangkit listrik, industri, bangunan, transportasi, penggunaan lahan, dan non-CO2. Salah satu yang paling penting adalah pembangkit listrik, karena dipakai oleh seluruh kalangan masyarakat setiap harinya,” kata Emilya dalam serial diskusi Suistanable Development Goals (SDGs) Seminar Series #89 bertajuk ‘Climate Change 101 for SDGs’.

Diskusi ini berlangsung secara daring, dikutip Jumat (2/6/2023).

Baca juga: UGM Jalin Relasi dengan Mitra Amerika Pertegas Penyelesaian Isu Perubahan Iklim

Dia menyebut, berdasarkan penelitian yang dilakukan United Nations Development Program (UNDP), Asia Tenggara mencatat pertumbuhan emisi gas rumah kaca di dunia pada 1990-2020.

Pertumbuhan tersebut kemudian didukung dengan meningkatnya bahan bakar fosil, deforestasi dan degradasi lahan.

Dipaparkannya, terdapat dua hal langkah utama yang bisa dilakukan untuk menurunkan emisi karbon.

Pertama, pemberhentian penggunaan bahan bakar batu bara dalam pembangkit listrik.

Kedua, pemanfaatan energi baru terbarukan sebagai pengganti bahan bakar fosil.

“Kedua hal ini tentunya tidak mudah dilakukan mengingat Indonesia telah lama bergantung pada batu bara sebagai tenaga pembangkit listrik,” jelas dia.

Emilya menyebut, kini banyak Energi Baru Terbarukan (EBT) yang sudah dikembangkan.

Salah satunya adalah EBT yang berasal dari tenaga surya.

“Indonesia, negara berada di kawasan ekuator dan matahari bersinar terang 11-13 jam, bisa kita bayangkan berapa banyak tenaga surga yang bisa kita dapatkan,” tuturnya.

Meski demikian, pengembangan EBT dari tenaga surya masih mengalami kendala lantaran harga alat yang relatif mahal.

Halaman
12
Sumber: Tribun Jogja
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved