Sumbu Filosofi Yogyakarta
Mengenal 21 Jenis Gamelan Kagungan Dalem, Benda Pusaka Bersejarah Keraton Yogyakarta
Gamelan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari perjalanan Keraton Yogyakarta. Masyarakat Jawa menyebut ansambel tradisional ini sebagai gangsa yang
Penulis: Bunga Kartikasari | Editor: Bunga Kartikasari
TRIBUNJOGJA.COM - Gamelan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari perjalanan Keraton Yogyakarta.
Gamelan ini menjadi benda pusaka Kagungan Dalem atau milik raja.
Masyarakat Jawa menyebut ansambel tradisional ini sebagai gangsa yang merupakan jarwa dhosok (akronim) dari tiga sedasa (tiga dan sepuluh).
Bisa dibilang ini juga menjadi implementasi Sumbu Filosofi Yogyakarta, terkait keselarasan manusia dengan alam dan budaya.
Dilansir Tribunjogja.com dari laman Kratonjogja.id, tiga sedasa merujuk pada elemen pembuat gamelan berupa perpaduan tiga bagian tembaga dan sepuluh bagian timah.
Perpaduan tersebut menghasilkan perunggu, yang dianggap sebagai bahan baku terbaik untuk membuat gamelan.
Instrumen yang dimainkan dalam seperangkat gamelan antara lain kendang, bonang, panerus, gender, dan gambang.
Selain itu ada suling, siter, clempung, slenthem, demung, dan saron. Juga tidak ketinggalan gong, kenong, kethuk, japan, kempyang, kempul, dan peking.
Jika Tribunners pernah berkunjung ke Sekaten dan menyempatkan mellihat tabuhan gamelan, ternyata itu salah satu dari alat tradisional milik Keraton Yogyakarta.
Gamelan ini memilki nama Gamelan Sekati.

Jadi selain pohon beringin yang memiliki nama, ternyata benda pusaka Kagungan Dalem ini juga mempunyai nama dan fungsinya sendiri-sendiri.
Gamelan Sekati mulanya adalah pusaka milik Kerajaan Mataram yang terdiri dari dua perangkat yakni Gamelan Kyai Guntur Madu dan Gamelan Kyai Guntur Sari.
Keduanya dibuat pada masa pemerintahan Sultan Agung yang pada tahun 1566 J atau tahun 1644 M.
Namun, setelah Perjanjian Giyanti, Gamelan Kyai Guntur Madu dan Gamelan Kyai Guntur Sari akhirnya dibagikan secara adil masing-masing kepada Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta.
Baca juga: Mengenal Tradisi Ngabekten, Sungkeman Keluarga Keraton Yogyakarta, Wujud Hormat kepada Orang Tua
Yogyakarta mendapat Gamelan Kyai Guntur Madu sedang Surakarta mendapat Gamelan Kyai Guntur Sari.
Untuk mengembalikan kelengkapan Gamelan Sekati, maka Sri Sultan Hamengku Buwono I membuat putran (duplikat) dari Kanjeng Kiai Guntur Sari yang kemudian diberi nama Kanjeng Kiai Naga Wilaga.
Hal ini pula yang membuat peletakan gamelan pada perayaan Sekaten memiliki aturan tersendiri.
Gamelan Kyai Guntur Madu yang lebih tua diletakkan di Pagongan Kidul Masjid Gedhe Kauman, yaitu di sebelah kanan Sultan.
Sementara Gamelan Kyai Nogo Wilogo yang dianggap lebih muda, diletakkan di Pagongan Lor Masjid Gedhe Kauman.
Untuk diketahui, Keraton Yogyakarta ini memiliki sekitar 21 perangkat gamelan yang dikelompokkan menjadi dua, yakni Gangsa Pakurmatan dan Gangsa Ageng.
Gangsa Pakurmatan

Gangsa Pakurmatan dimainkan untuk mengiringi Hajad Dalem atau upacara adat keraton.
Gangsa Pakurmatan terdiri dari Kanjeng Kiai Guntur Laut, Kanjeng Kiai Kebo Ganggang, Kanjeng Kiai Guntur Madu, Kanjeng Kiai Nagawilaga, dan Gangsa Carabalen.
- Kanjeng Kiai Guntur Laut
Kanjeng Kiai Guntur Laut atau disebut juga Gangsa Monggang biasanya gamelan ini hanya dimainkan dalam upacara kenegaraan yang penting seperti Jumenengan (upacara penobatan) Sultan, menyambut tamu yang sangat terhormat di keraton, pernikahan kerajaan, dan Garebeg.
- Kanjeng Kiai Kebo Ganggang
Selanjutnya, ada Kanjeng Kiai Kebo Ganggang atau disebut pula Gamelan Kodhok Ngorek. Gamelan jenis ini biasa dimainkan bersama Kanjeng Kiai Guntur Laut. Seperti pada Jumenengan Sultan dan Garebeg.
- Kanjeng Kiai Sekati
Nah, Kanjeng Kiai Sekati ini terdiri dari dua perangkat yakni Kanjeng Kiai Gunturmadu dan Kanjeng Kiai Nagawilaga. Gamelan Sekati ini khusus dimainkan pada perayaan Sekaten.
Saat tidak digunakan, Gamelan Kyai Guntur Madu dan Gamelan Kyai Nogo Wilogo disimpan dan diperlakukan layaknya pusaka kerajaan di Bangsal Keraton. Sebelum perayaan Sekaten, tepatnya tiga hari sebelunya, kedua gamelan ini akan dijamas (dibersihkan) terlebih dahulu.
Kedua gamelan tersebut kemudian akan dikeluarkan dari Keraton dengan upacara khusus yang disebut Miyos Gongso.
Gamelan Kyai Guntur Madu dan Gamelan Kyai Nogo Wilogo akan diarak oleh para abdi dalem dengan dikawal oleh bregada yang menggunakan pakaian adat Jawa.
Tabuhan Gamelan Sekati termasuk dalam rangkaian perayaan Sekaten yang digelar menjelang peringatan hari Maulid Nabi Muhammad SAW atau Grebeg Maulud.
Biasanya, selama perayaan Sekaten, Gamelan Kyai Guntur Madu dan Gamelan Kyai Nogo Wilogo akan ditabuh bergantian oleh abdi dalem selama tujuh hari berturut-turut.
Tabuhan Gamelan Sekati biasanya dimulai pada tanggal 6 Mulud sampai 12 Mulud dalam penanggalan Jawa, sejak pagi hingga malam.
Gamelan di halaman masjid tersebut hanya akan berhenti saat memasuki waktu sholat.
Baca juga: Mengenal Tradisi Ngabekten, Sungkeman Keluarga Keraton Yogyakarta, Wujud Hormat kepada Orang Tua
Bahkan, setelah digunakan, Gamelan Kyai Guntur Madu dan Gamelan Kyai Nogo Wilogo tidak dikembalikan langsung melainkan akan dilakukan upacara khusus yang disebut Kondur Gongso.
Sebelum prosesi Kondur Gongso dimulai, Ngarsa Dalem Sri Sultan Hamengku Buwono akan melakukan Nyebar Udhik-udhik di Pagongan Lor dan Kidul Masjid Gedhe Kauman.
Sesudah itu Sri Sultan Hamengku Buwono akan masuk ke dalam serambi Masjid Gedhe Kauman untuk mendengarkan pembacaan riwayat Nabi Muhammad SAW dari abdi dalem penghulu.
Usai pembacaan riwayat Nabi Muhammad SAW dan Sri Sultan Hamengku Buwono meninggalkan Kompleks Masjid Gedhe Kauman, barulah kedua perangkat gamelan dibawa kembali ke dalam Keraton Yogyakarta.
Biasanya arak-arakan abdi dalem yang membawa kembali Gamelan Kyai Guntur Madu dan Gamelan Kyai Nogo Wilogo akan melewati Alun-Alun Utara dengan dikawal para bregada atau prajurit Keraton.
- Gangsa Carabalen
Gangsa Carabalen pada masa lalu berfungsi antara lain untuk menyambut kedatangan tamu keraton, mengiringi latihan baris-berbaris prajurit putri, dan Garebeg.
Gangsa Ageng

Sementara Gangsa Ageng, sebagai pengiring pergelaran seni budaya keraton. Gangsa Ageng memiliki instrumen lebih lengkap dibanding Gangsa Pakurmatan.
Adapun Gangsa Ageng yang dimiliki Keraton Yogyakarta antara lain:
- Kanjeng Kiai Surak
Gamelan yang dibawa oleh Pangeran Mangkubumi (Sri Sultan Hamengku Buwono I) saat masih berperang melawan VOC.
Kala itu, gamelan ini dimainkan untuk menggugah semangat juang para prajurit. Di saat kesultanan telah berdiri, gamelan berlaras slendro ini dimainkan untuk mengiringi Ngabekten dan adu banteng melawan macan.
- Kanjeng Kiai Kancil Belik,
Gamelan satu ini dibawa dari Kasunanan Surakarta setelah perjanjian Giyanti.
Gamelan yang berlaras pelog ini ditabuh untuk mengiring kedatangan Sultan pada upacara Ngabekten, mengiringi Krama Dalem (pernikahan Sultan), dan Supitan Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom (Putra Mahkota).
- Kanjeng Kiai Guntur Sari
Ini merupakan gamelan peninggalan Sri Sultan Hamengku Buwono I.
Gamelan berlaras pelog ini digunakan untuk mengiringi tari Beksan Trunajaya,
Hajad Dalem Supitan dan Tetesan, dan Prajurit Langenastra saat Garebeg Mulud.
Karena larasnya hampir sama dengan Gangsa Sekati, gamelan ini juga digunakan untuk latihan acara Sekaten.
- Kanjeng Kiai Marikangen
Pada masa lalu gamelan berlaras slendro ini digunakan untuk mengiringi prajurit putri Langenkusuma menuju alun-alun untuk berlatih perang.
Pada masa Sri Sultan Hamengku Buwono VI dan Sri Sultan Hamengku Buwono VII gamelan peninggalan Sri Sultan Hamengku Buwono III ini digunakan untuk mengiringi tari Bedhaya, Wayang Wong (ringgit tiyang), dan wayang kulit (ringgit wacucal).
- Kanjeng Kiai Panji dan Kanjeng Kiai Pusparana
Gamelan ini merupakan peninggalan Sri Sultan Hamengku Buwono V. Kanjeng Kiai Panji berlaras pelog dan Kanjeng Kiai Pusparana berlaras slendro.
- Kanjeng Kiai Madukintir dan Kanjeng Kiai Siratmadu
Keduanya dibuat atas prakarsa Pangeran Purubaya, yang kemudian menjadi Sri Sultan Hamengku Buwono VIII, pada tahun 1901.
Kanjeng Kiai Madukintir dan Kanjeng Kiai Siratmadu merupakan peninggalan masa Sri Sultan Hamengku Buwono VII.
Kanjeng Kiai Madukintir berlaras slendro sedang Kanjeng Kiai Siratmadu berlaras pelog, keduanya digunakan untuk mengiringi Wayang Wong, beksan (pertunjukan tari), dan uyon-uyon (karawitan).
- Kanjeng Kiai Medharsih dan Kanjeng Kiai Mikatsih
Kanjeng Kiai Medharsih memiliki laras slendro sedang Kanjeng Kiai Mikatsih memiliki laras pelog. Gamelan ini merupakan peninggalan masa Sri Sultan Hamengku Buwono VII, kemungkinan beliau dapatkan ketika masih menjadi putra mahkota.
Kanjeng Kiai Medharsih dan Kanjeng Kiai Mikatsih biasanya digunakan untuk mengiringi beksan, uyon-uyon, dan semacamnya.
- Kanjeng Kiai Harjanagara dan Kanjeng Kiai Harjamulya
Kanjeng Kiai Harjanegara memiliki laras slendro sedang Kanjeng Kiai Harjamulya memiliki laras pelog. Keduanya digunakan untuk mengiringi Wayang Wong dan uyon-uyon.
Gamelan ini merupakan peninggalan Sri Sultan Hamengku Buwono VIII.
- Kanjeng Kiai Madumurti dan Kanjeng Kiai Madu Kusumo
Kanjeng Kiai Madumurti dan Kanjeng Kiai Madu Kusumo mempunyai cerita yang berbeda.
Gamlean ini ternyata merupakan pemberian Li Jing Kim kepada Sri Sultan Hamengku Buwono VIII pada tahun 1930.
Li Jing Kim merupakan seorang warga Yogyakarta keturunan Cina yang sangat mencintai budaya Jawa.
Kanjeng Kiai Madumurti memiliki laras slendro sedang Kanjeng Kiai Madukusuma memiliki laras pelog. Keduanya digunakan untuk mengiringi Wayang Wong dan uyon-uyon.
Baca juga: Menilik Sejarah Masjid Gedhe Kauman, Tak Terpisahkan dari Kesulatan Yogyakarta
- Kanjeng Kiai Sangumulya dan Kanjeng Kiai Sangumukti
Terakhir ada Kanjeng Kiai Sangumulya dan Kanjeng Kiai Sangumukti.
Kanjeng Kiai Sangumulya dan Kanjeng Kiai Sangumukti ini dibuat pada masa Sri Sultan Hamengku Buwono X pada tahun 1998.
Kanjeng Kiai Sangumulya berlaras pelog sedang Kanjeng Kiai Sangumukti berlaras slendro. Keduanya digunakan untuk mengiringi beksan, wayang kulit, wayang golek, dan uyon-uyon.
Nama kedua gamelan tersebut berasal dari pertanyaan Sri Sultan Hamengku Buwono IX kepada putranya yang kemudian naik takhta menjadi Sri Sultan Hamengku Buwono X, manakah yang ia inginkan, hidup mukti atau hidup mulya.
“Kecuali Kanjeng Kiai Kancil Belik dan Kanjeng Kiai Surak, penempatan Gangsa Ageng dirotasi tiap beberapa tahun untuk memastikan semuanya diperhatikan dan dirawat dengan baik. Sedang Kanjeng Kiai Kancil Belik selalu diletakkan di Gedhong Gangsa Lor, dan Kanjeng Kiai Surak, karena lebih tua, diletakkan di Gedhong Gangsa Kidul. Kedua Gedhong Gangsa tersebut berada di Plataran Kedhaton, berhadapan dengan Bangsal Kencana,” tulis Keraton Jogja seperti yang tertera dalam laman resmi Kratonjogja.id.
Seperti benda-benda pusaka pada umumnya, setiap hari Jumat salah satu dari gamelan ini dibersihkan dan diperiksa secara bergilir oleh Abdi Dalem Kanca Gendhing.
Jika menemukan kerusakan, maka perbaikan akan dilakuakn segera.
Lalu bagaimana jika gamelan tidak bisa diperbaiki? Buat gamelan yang tak bisa diperbaiki dan di fungsikan seperti semula, maka akan dilebur kemudian dibuat menjadi baru kembali tanpa mengubah unsur logam pembuatnya.
Baca artikel lain terkait Sumbu Filosofi Yogyakarta
( Tribunjogja.com / Bunga Kartikasari )
gamelan
Gamelan Sekati
Keraton Yogyakarta
Sultan Agung
Sri Sultan Hamengku Buwono
Jenis gamelan
Nama gamelan
benda pusaka
Sumbu Filosofi Yogyakarta
Kagungan Dalem
Promosikan World Heritage, 73 Delegasi dari Malaysia Diajak Tour Sumbu Filosofi |
![]() |
---|
Sumbu Filosofi Jadi Warisan Dunia, Trans Jogja Belum Berencana Tambah Rute |
![]() |
---|
Sri Sultan Hamengku Buwono X Ingin Sumbu Filosofi Berdampak Positif ke Seluruh Lapisan Masyarakat |
![]() |
---|
Layani Tur Gratis di Kawasan Sumbu Filosofi, Disbud DIY Sediakan 2 Unit Bus Jogja Heritage Track |
![]() |
---|
Pemda DIY Bakal Bentuk Sekretariat Bersama untuk Kelola Kawasan Sumbu Filosofi |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.