Sumbu Filosofi Yogyakarta

Sejarah Masjid Pathok Negoro Babadan Bantul, Pengadilan Surambi di Zaman Lampau

Nama Ad Darojat sendiri berasal dari nama kecil Sri Sultan Hamengkubuwono IX yaitu Darojatun. Lokasi ini dapat dicapai melalui perempatan Gedong

Tribun Jogja/Hamim Thohari
Sejarah Masjid Pathok Negoro Babadan Bantul, Pengadilan Surambi di Zaman Lampau 


TRIBUNJOGJA.COM - Tribunners, adakah dari kalian yang tahu tentang Sumbu Filosofi Yogyakarta?

Sumbu Filosofi Yogyakarta tidak hanya sekadar garis imajiner yang menghubungkan Gunung Merapi di utara dengan Pantai Parangtritis di selatan yang melewati Kraton Yogyakarta.

Sumbu tersebut juga menjadi acuan tata kota dari wilayah yang dilewatinya.

Makna Sumbu Filosofi Yogyakarta sendiri dapat diartikan sebagai simbol dari keselarasan dan keseimbangan hubungan manusia dengan Tuhannya (Hablum minallah), manusia dengan manusia (Hablum minannas), dan manusia dengan alam.

Maka, salah satu bangunan yang menyelaraskan keseimbangan hubungan manusia dengan Tuhan Masjid Pathok Negoro.

Masjid Pathok Negoro yang ada di Kasultanan Yogyakarta sendiri ada 4, yakni Masjid Sultoni Ploso Kuning (Ngaglik Sleman), Masjid Jami Mlangi (Gamping, Sleman), Masjid Ad Darojat (Banguntapan, Bantul), Masjid At Taqwa Dongkelan (Kasihan, Bantul). 

Kali ini, Tribunjogja.com akan membahas tentang Masjid Ad Darojat atau yang sering disebut sebagai Masjid Pathok Negoro Babadan terletak di Dusun Kauman Babadan, Kalurahan Gedong Kuning, Kecamatan Banguntapan, Kabupaten Bantul.

Masjid Ad Darojat Babadan ini didirikan oleh Sultan Hamengkubuwono I pada tahun 1774.

Baca juga: Sejarah Masjid Pathok Negoro Mlangi, Pembatas Daerah di Bagian Barat Kini Jadi Tempat Wisata Religi

Baca juga: Sejarah Panggung Krapyak bagian dari Sumbu Filosofi Yogyakarta, Ternyata Ini Fungsinya Guys

Setelah membahas masing-masing sejarah Masjid Pathok Negoro Ploso Kuning, Masjid Pathok Negoro Mlangi dan Masjid Pathok Negoro Ploso Kuning Dongkelan, mari kita kuak bagaimana sejarah Masjid Pathok Negoro Ad Darojat.

Fungsinya masjid ini sama dengan tiga masjid pathok negoro lain, yakni untuk melengkapi pemerintah keraton.

Masjid Ad-Darojat Babadan yang merupakan salah satu masjid pathok negara yang didirikan oleh Sultan HB I pada tahun 1774.
Masjid Ad-Darojat Babadan yang merupakan salah satu masjid pathok negara yang didirikan oleh Sultan HB I pada tahun 1774. (Tribun Jogja/Hamim Thohari)

Tak jauh berbeda dari ketiga Masjid Pathok Negoro lainnya, kesamaan bentuk Masjid Ad Darojat ini terlihat hampir di setiap sudut bangunannya.

Bangunan ruang utama masjid menggunakan konstruksi joglo dengan empat soko guru dan terdapat pawestren disampingnya.

Serambi masjid menggunakan konstruksi bentuk limasan serta terdapat kolam di sebelah timur masjid sebagai tempat bersuci sebelum memasuki masjid, di depan masjid juga terdapat pohon kepel.

Banyak cerita dibalik Masjid Babadan (Ad Darojat). Salah satunya, Masjid Babadan lama sempat dipindahkan ke Babadan Baru di tahun 1943.

Ini semua terjadi karena kala itu pemerintah pendudukan Jepang ingin membangun lapangan udara dan harus mengosongkan wilayah, salah satunya wilayah Babadan, Bantul.

Masyarakat Babadan yang pindah ke Babadan Baru kemudian membangun masjid yang kemudian dinamai Masjid Sultan Agung.

Namun, masyarakat sekitar pun tidak tinggal diam, dan memindahkan bangunan masjid ke wilayah Kentungan, Kabupaten Sleman.

Seluruh konstruksi kayu dipindah ke tempat baru dan yang tersisa di Babadan hanyalah pondasinya saja.

Wilayah tersebut pun menjadi kampung mati saat itu.

Bukannya berfungsi dengan baik, pemindahan ini pun membuat Masjid Pathok Babadan tak terurus.

Kehidupan keagamaan warga di sekitar seakan mati suri, tidak seperti di tempat awal.

Baru setelah Jepang kalah dalam perang dunia ke-2, tentara Jepang pun meninggalkan kampung tersebut dan tahun 1950-an wilayah tersebut kembali didatangi warga untuk bermukim di sana.

Kendati sudah banyak warga yang berdatangan, Masjid Pathok Negara Babadan belum kembali berfungsi layaknya masjid karena belum dibangun seutuhnya.

Oleh warga, pondasi masjid digunakan untuk menjemur padi dan sempat digunakan untuk panggung ketoprak.

Sekitar tahun 1960, masjid pun dikembalikan.

Ide awal pembangunan kembali masjid ini di tempat semula dilakukan oleh salah seorang warga Babadan.

Hingga kemudian pembangunan baru dimulai saat Sri Sultan Hamengkubuwono IX bertahta.

Raja yang dicintai rakyatnya ini mempunyai andil besar dalam pembangunan kembali Masjid Pathok Negara Babadan.  

Namanya pun kini disematkan menjadi bagian dari nama masjid, Ad Darojat.

Nama Ad Darojat sendiri berasal dari nama kecil Sri Sultan Hamengkubuwono IX yaitu Darojatun.

Baca juga: Sejarah dan Arti Nama Jalan Malioboro, Destinasi Wisata Favorit Wisatawan dan Warga Jogja

Lokasi ini dapat dicapai melalui perempatan Gedong Kuning ke utara.

Sampai di pertigaan jalan di sudut barat-utara Gedung JEC ambil arah lurus ke utara (jalan masuk ke arah Sorowajan). 

Pada jarak sekitar 50 meter dari pertigaan akan ditemukan jalan kecil (gang) mengarah ke barat.

Gang kecil inilah yang menjadi jalan utama menuju lokasi Masjid Pathok Negoro Ad Darojat Babadan.

Di pemukiman yang padat penduduk, tepatnya di Babadan, Kalurahan Banguntapan, Kapanewon Banguntapan, berdiri masjid bersejarah Masjid Pathok Negara Ad-Darojat.

Meski Masjid Pathok Negoro Ad-Darojat Babadan dibangun ulang jauh setelah masa pembangunan masjid aslinya, namun bentuk khas sebagai masjid keraton masih tetap dipertahankan.

Bangunan masjid tetap menggunakan gaya arsitektur limasan dengan empat tiang penopang banguanan di dalamnya.

Hanya saja karena semakin banyaknya warga yang bermukim di sana, luas halaman masjid pun semakin sempit.

Sejak mulai kembali dibangun hingga saat ini, pihak masjid terus berupaya untuk memperluas lahan.

Fungsi Masjid Pathok Ad-Darojat Babadan

Masjid Ad-Darojat Babadan yang merupakan salah satu masjid pathok negara yang didirikan oleh Sultan HB I pada tahun 1774.
Masjid Ad-Darojat Babadan yang merupakan salah satu masjid pathok negara yang didirikan oleh Sultan HB I pada tahun 1774. (Tribun Jogja/Hamim Thohari)

Setiap Masjid Pathok Negoro memang memiliki fungsi masing-masing di kala itu.

Masjid tersebut dahulu berfungsi sebagai tempat pengadilan surambi atau tempat untuk mengurus masalah yang berhubungan dengan hukum agama.

Pengadilan surambi dilaksanakan berdasarkan syari’at Islam dengan cakupan meliputi pengadilan untuk perkara hukum terkait perkawinan, talak, warisan, dan juga hukum pidana.

Selama belum ada KUA dan kantor Kementrian Agama (Kemenag) Masjid Pathok Negoro Babadan ini ternyata digunakan untuk menikahkan pasangan.

Karena itu, setiap Masjid Pathok Negara memiliki penghulu.

Itulah sejarah Masjid Pathok Negoro Babadan Bantul, Tribunners.

 


( Tribunjogja.com / Bunga Kartikasari )

Sumber: Tribun Jogja
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved