Pengentasan Kemiskinan DIY
Bank Indonesia: Pengangguran Rendah Dorong Membaiknya Kesejahteraan DIY
Dengan menggunakan indikator Produk Domestik Bruto (PDRB) untuk mengukur pertumbuhan ekonomi, DIY telah memasuki masa pemulihan ekonomi.
TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Dengan menggunakan indikator Produk Domestik Bruto (PDRB) untuk mengukur pertumbuhan ekonomi, DIY telah memasuki masa pemulihan ekonomi pasca pandemi Covid-19.
Kepala Perwakilan Bank Indonesia DIY, Budiharto Setyawan dalam keterangan tertulisnya, Jumat (20/1/2022) mengatakan, akumulasi PDRB DIY Triwulan I hingga Triwulan III 2022 atas dasar konstan telah berada pada level Rp 83,58 triliun atau meningkat 4,68 persen (ctc) dibandingkan akumulasi PDRB Triwulan I hingga Triwulan III 2021.
Level PDRB dimaksud bahkan telah melampaui akumulasi PDRB triwulan yang sama tahun 2019 sebesar Rp 74,79 triliun.
Apabila pencapaian tersebut digunakan sebagai ukuran keberhasilan, maka DIY menjadi salah satu provinsi yang mengalami pemulihan tercepat di Indonesia.
Berdasarkan rilis BPS 13 Januari 2023, secara tahunan (Sept 2021 to Sept 2022) persentase penduduk miskin DIY menurun dari 11.91 % menjadi 11,49 % .
Penurunan secara tahunan terutama disebabkan penurunan persentase kemiskinan di perkotaan (11,20 % menjadi 10,64 % ), sementara di pedesaan meningkat dari 13,99 % di sept 2021 menjadi 14 % di Sept. 2022.
Meski demikian jika dibandingkan dengan posisi Maret 2022, persentase penduduk miskin di DIY meningkat dari 11,34 % menjadi 11,49 % .
Peningkatan persentase penduduk miskin terjadi baik di perkotaan maupun perdesaan. Diperkotaan naik dari 10.56 % menjadi 10,64 % . Di perdesaan meningkat dari 13,65 % menjadi 14 % . Peningkatan ini selaras dengan yang terjadi secara nasional.
Dalam pengukuran kemiskinan, BPS telah merilis beberapa indikator. Berdasarkan indikator tersebut, meskipun pertumbuhan ekonomi DIY tergolong sangat baik, namun indikator garis kemiskinan yang mencerminkan nilai rupiah pengeluaran minimum untuk memenuhi kebutuhan pokok hidup selama sebulan mengalami penurunan baik di perkotaan maupun di pedesaan.
Mayoritas masyarakat di DIY telah memiliki pekerjaan yang menghasilkan pendapatan.
Tingkat pengangguran di DIY berkisar 4,06 % (Ags-22), tergolong sangat baik karena jauh berada di bawah rata-rata nasional 5,86 % (Ags-22).
Bila dilihat dari struktur lapangan pekerjaan, mayoritas pekerjaan masyarakat DIY adalah UMKM dan didominasi oleh tenaga kerja sektor informal yang mencapai 53,38 % (Ags-22)
Walaupun mayoritas telah memiliki pekerjaan, namun secara statistik kemiskinan DIY dianggap masih tinggi
Kemiskinan di DIY mencapai 11,49 % menduduki peringkat ke-12 provinsi dengan kemiskinan tertinggi di Indonesia.
Hal ini disebabkan oleh 2 (dua) hal yakni, i) pola konsumsi masyarakat DIY cenderung sederhana, dan ii) metode pengukuran statistik belum sepenuhnya bisa menggambarkan purchasing power parity masyarakat DIY yang sebenarnya.
Pola konsumsi masyarakat DIY cenderung unik, yang relatif berbeda dibandingkan daerah lain.
Mayoritas masyarakat DIY memiliki budaya yang kuat dalam menabung dibandingkan dengan konsumsi. Hal ini tercermin dari tingkat simpanan masyarakat di bank yang selalui lebih tinggi dibandingkan tingkat kredit.
Secara rata-rata rasio kredit dibandingkan dengan simpanan (Loan to Deposit Ratio/LDR) rumah tangga di DIY dalam 10 tahun terakhir berkisar 66,78 % yang berarti masih rendah apabila dibandingkan dengan rasio ideal 80-90 % .
Kondisi demikian terus menjadi problem secara statistik, karena penduduk dikategorikan miskin apabila rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan.
Dengan demikian, semakin rendah pengeluaran penduduk maka akan semakin dekat dengan kemiskinan.
Sementara itu, kesenjangan pendapatan yang didekati dengan pengeluaran penduduk lokal dengan penduduk pendatang sangat tinggi. Kesenjangan pengeluaran ini didominasi oleh produk tersier. Mayoritas penduduk pendatang melakukan pengeluaran yang signifikan lebih besar utamanya untuk produk makanan jadi, sewa rumah, maupun produk gaya hidup seperti perawatan kecantikan dan kesehatan. Kesenjangan pengeluaran ini menjadi salah satu faktor yang menyebabkan ketimpangan di DIY menjadi tinggi. Hal tersebut tercermin dari tingkat gini ratio DIY yang mencapai 0,459 (Sep-22) tertinggi se-Indonesia.
Berdasarkan hasil asesmen tersebut, untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di DIY, terdapat beberapa hal yang menurut hemat kami perlu dilakukan antara lain:
1. Berupaya terus menciptakan lapangan kerja baru. Kami sangat mendukung kesuksesan DIY dalam menjaga keberlangsungan proyek strategis nasional maupun proyek strategis daerah. Proyek strategis yang berlanjut sampai dengan 2025 perlu terus dikawal, agar dapat menyerap tenaga kerja dari masyarakat sekitar/lokal.
2. Mengawal optimalisasi penggunaan dana desa, agar memiliki multiplier yang besar sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dana desa apabila dimanfaatkan secara swakelola dan padat karya, diharapkan mampu menggerakkan ekonomi desa, sehingga harapannya dapat mempercepat proses penurunan kesenjangan antara desa dan kota.
3. Kami sangat mengapresiasi upaya DIY dalam meningkatkan upah minimum provinsi (UMP) 2023, sehingga tidak lagi menjadi yang terendah di Indonesia. Kenaikan UMP ini penting terutama untuk mengurangi gap pendapatan penduduk DIY dengan penduduk pendatang, sehingga diharapkan dapat memperbaiki gini ratio.
4. Terus memberikan perhatian serius terhadap isu sosial yang berkembang di masyarakat. Kami sangat mendukung upaya Pemda DIY maupun Pemerintah Kota dan Kabupaten yang menggandeng tokoh masyarakat dan tokoh agama, dalam mengantisipasi potensi konflik antar kelompok. Kami turut mengapresiasi respons cepat dari Pemda dalam mengatasi isu sosial yang berkembang, sehingga tidak merusak citra positif DIY. (rls)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.