Berita Pendidikan Hari Ini

Psikolog UGM Jelaskan tentang Hustle Culture, Racun Pikiran untuk Kerja Melulu

Hustle culture yang biasa disebut workaholic, merasa memiliki tuntutan untuk terus merespons pekerjaan dengan profesional dan berkualitas tinggi.

Penulis: Ardhike Indah | Editor: Gaya Lufityanti
pixabay
Ilustrasi tertekan di tempat kerja 

Salah satu cirinya adalah terus memikirkan pekerjaan di setiap waktu dan tempat dan terjadi ketidakseimbangan antara kehidupan kerja dan kehidupan pribadi.

“Tidak sempat untuk memikirkan kebahagiaan sendiri, work life balance-nya tidak ada,” ucapnya.

Selain itu, pekerja akan merespons kondisi fisik dan psikis dengan standar dirinya.

Misalnya, mereka merasa ada sensasi fisik dalam diri seperti pusing, sakit perut, tidak enak badan yang sering dikeluhkan karena pekerjaan yang terlalu berat.

Sedangkan, secara mental merasa kurang percaya diri dan insecure.

Pekerja jarang merasa puas terhadap apa yang telah dikerjakan, merasa masih ada yang salah dan harus terus bekerja agar sempurna.

“Dalam pikiran itu harus keras bekerja, bukan bekerja keras dengan strategi. Ambisius untuk terus aktif sehingga tidak peka dengan sinyal-sinyal dalam tubuhnya hingga saat banyak stresor masuk tubuhnya, ambruk, stres, burnout, terjadi kelelahan psikologis,” tuturnya.

Ia menjelaskan hustle culture ini kian populer seiring dengan berkembangnya media sosial.

 

Kebanyakan orang membagikan pencapaiannya melalui media sosial ini yang semakin memupuk perasaan insecure dan membandingkan diri dengan orang lain.

“Penyebab menjadi hustle culture ini karena melihat orang lain. Apalagi dengan medsos, orang posting prestasi di medsos jadi mudah membandingkan diri dengan orang lain. Dampaknya ke isu kesehatan mental,” urainya.

Lalu, bagaimana menyikapi hustle culture ini?

Indrayanti menyebutkan generasi muda perlu untuk tetap terkoneksi secara riil dengan lingkungan dan berkolaborasi.

Dengan langkah tersebut, mereka bisa membuka pikiran masing-masing dan mengetahui jika fenomena yang terjadi tidak hanya dihadapi dirinya sendiri tetapi juga oleh orang lain.

Dengan begitu, perasaan untuk selalu membandingkan diri dengan orang lain bisa ditekan dan mencari solusi dengan berkolaborasi untuk kebermanfaatan masyarakat dan bangsa. ( Tribunjogja.com )

Sumber: Tribun Jogja
Halaman 2/2
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved