Berita Pendidikan Hari Ini

Psikolog UGM Jelaskan tentang Hustle Culture, Racun Pikiran untuk Kerja Melulu

Hustle culture yang biasa disebut workaholic, merasa memiliki tuntutan untuk terus merespons pekerjaan dengan profesional dan berkualitas tinggi.

Penulis: Ardhike Indah | Editor: Gaya Lufityanti
pixabay
Ilustrasi tertekan di tempat kerja 

Laporan Reporter Tribun Jogja, Ardhike Indah

TRIBUNJOGJA.COM, SLEMAN - Hustle culture menjadi sebuah istilah yang sedang populer dibicarakan di kalangan generasi muda saat ini.

Pakar Psikologi Universitas Gadjah Mada ( UGM ), Indrayanti, M.Si., Ph.D., Psikolog menjelaskan, budaya tersebut berkembang dari seorang pecinta kerja.

Mereka, yang biasa disebut workaholic, merasa memiliki tuntutan untuk terus merespons pekerjaan dengan profesional dan berkualitas tinggi.

Pikiran itu muncul agar tidak dinilai buruk oleh sosial maupun atasan yang pada akhirnya pekerja tidak memiliki waktu untuk diri sendiri dan keluarga.

Baca juga: UPT Layanan Disabilitas Disdikpora Kota Yogyakarta Siapkan Layanan Terapi dan Asesmen Psikologi ABK

Kondisi ini, kata dia, bisa terjadi pada siapapun tidak hanya di dunia kerja, tetapi juga di dunia pendidikan.

“Melihat kondisi kerja yang situasinya pada workaholic akhirnya kepikiran, ada racun di pikiran. Jangan-jangan yang disebut produktif yang harus kerja keras, lembur, dan akan merasa bersalah jika gak kaya gitu,” paparnya, Rabu (4/1/2023).

Indrayanti mengatakan, situasi ini yang terjadi pada tiap-tiap individu kemudian menjadi sebuah fenomena yang dilihat di lingkungan sehingga menjadi sebuah gaya hidup atau budaya.

Generasi muda menjadi berpikir tentang produktivitas seperti yang kebanyakan terlihat yakni yang kerja keras dan terus melakukannya supaya tidak merasa tertinggal.

“Kalau orang lain kaya gitu berarti produktif itu yang kerja keras, lembur sampai malam,  bawa laptop sampai tiga. Jika tidak melakukan hal seperti itu lantas menjadi insecure,” tuturnya.  

Menurutnya, hustle culture telah menjadi fenomena gaya hidup dimana pemikiran hidup untuk bekerja.

Pekerja jadi mendedikasikan kehidupan untuk bekerja dan mengesampingkan hal lain dalam hidup.

“Hustle culture itu mindsetnya kita hidup untuk kerja yang lain entar dulu. Bukan kerja untuk hidup,” terang dosen Fakultas Psikologi UGM ini.

Baca juga: Apakah Hiposmia Jadi Satu di antara Gejala Covid-19? Begini Penjelasan Pakar UGM

Indrayanti menyebutkan bahwa seringkali orang tidak menyadari jika telah terseret dalam arus hustle culture karena telah menjadi bagian dari kebiasaan sehari-hari.

Ia menjelaskan, ada ciri-ciri yang bisa dikenali dari fenomena hustle culture ini.

Sumber: Tribun Jogja
Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved