Berita Jogja Hari Ini
Orang Tua dan Penasihat Hukum Terdakwa Kasus Klitih Jogja Blak-blakan Terdakwa Tak Bersalah
Terdakwa memiliki alibi dengan pembuktian berupa rekaman kamera CCTV yang menunjukan bahwa kliennya pada saat itu berada di Perempatan Druwo.
Penulis: Miftahul Huda | Editor: Gaya Lufityanti
TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Kejanggalan pengusutan kasus kejahatan jalanan atau klitih di Gedongkuning, Kotagede, Yogyakarta , awal April 2022 silam terus dikemukanan oleh para penasihat hukum terdakwa.
Faiz Nugroho, penasihat hukum seorang terdakwa berinisial AMH, mengatakan pihaknya tetap yakin bahwa kliennya tak bersalah dalam kasus itu.
Keyakinan itu berdasarkan tidak adanya satu bukti pun dari Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang menunjukan bahwa kliennya adalah seorang pelaku.
Bukti kedua, terdakwa memiliki alibi dengan pembuktian berupa rekaman kamera CCTV yang menunjukan bahwa kliennya pada saat itu berada di Perempatan Druwo.
"Jadi gak ada di TKP. Tidak ada bukti satu pun dari JPU yang menunjukan bahwa terdakwa adalah pelakunya," katanya, saat jumpa pers di kantor LBH Yogyakarta, Jumat (4/11/2022).
Baca juga: Penasihat Hukum Terdakwa Kasus Klitih di Gedongkuning Laporkan Penyidik ke Propam Polda DIY
Bahkan dari pembuktian itu, kelima terdakwa seharusnya diputus bebas bersalah sebab pada saat kejadian empat orang yakni RNA alias Botak (19), warga Mergangsan, Kota Yogyakarta yang diduga sebagai eksekutor, MMA (21), AMH, dan HAA pada saat kejadian berada di depan kantor Hiswana Migas, Sewon, Bantul.
"Sementara satunya lagi FAS itu malah dia ada di temannya, terus ke Mlangi lalu ke Alun-alun Utara. Jadi enggak menjangkau TKP," jelasnya.
Pada saat sidang pembuktian, Faiz mencecar saksi dari JPU dengan sejumlah pertanyaan salah satunya mengenai rekaman kamera CCTV.
Pasalnya, di persidangan saksi itu menyebut bahwa objek yang berada di dalam kamera CCTV merupakan kelima terdakwa yang kini masih diproses di persidangan .
"Itu didapat hanya karena saksi teman korban mengatakan bahwa pelaku naik motor Nmax dan Vario. Dari keterangan ini, polisi mencari pemilik Nmax dan Vario, seperti dalam rekaman CCTV,," jelasnya.
Setelah di persidangan , pihaknya mengklaim bahwa tidak ada identifikasi dengan jelas dari hasil rekaman CCTV.
"Saya waktu itu bertanya tegas kepada saksi. Saudara saksi dengan semata-mata melihat rekaman CCTV, apakah bisa mengidentifikasi itu? Dia jawab tidak bisa. Kalau gak bisa baagaimana bisa ketemu pelaku?," ujarnya.
Kemudian, pihak JPU menyankal bahwa pelaku terungkap atas upaya gelar perkara.
Namun, ketika ditanya kembali oleh Faiz Nugroho, JPU menurutnya hanya menjawab itu rahasia penyidik.
Harapannya, dalam sidang pembacaan putusan yang rencananya digelar Selasa (8/11/2022) nanti, tim penasihat hukum meminta ketua majelis hakim memutus bebas bagi para terdakwa.
"Memutus bebas. Karena ada salah tangkap," jelasnya.
Selain dugaan salah tangkap, penasihat hukum juga mengklaim adanya pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang dilakukan oleh oknum penyidik di Polsek Kotagede.
"Kami sudah melapor Komnas HAM. Tapi masih proses, mereka bersurat ke Propam Polda DIY," terang dia.
Orangtua terdakwa AMH bernama Andayani, menegaskan dirinya bersama orangtua terdakwa lainnya tidak membenarkan kejahatan jalanan atau klitih.
Ia menambahkan bahwa anaknya bukanlah pelaku klitih di Gedongkuning yang menewaskan satu orang bernama Dafa Adzin Albasith pelajar SMA Muhammadiyah 2.
"Anak kami bukan pelaku, anak kami juga korban. Korban ketidakadilan, korban salah tangkap, di sini kami orangtua melihat adanya dugaan rekayasa kasus," kata Aan yang juga hadir di kantor LBH Yogyakarta.
Aan menceritakan dugaan salah tangkap dan rekayasa kasus bermula saat anaknya dan rekannya sebanyak 4 orang total 5 orang, sedang melakukan perang sarung di daerah Druwo, Jalan Prangtritis.
Perang sarung dilakukan oleh anaknya berinisial AD dengan kawan lainnya pada pukul 02.30 WIB.
"Pada saat yang bersamaan terjadi penganiayaan di Gedongkuning yang waktu itu viral pada tanggal 3 April 2022. Apalagi di Gedongkuning berjarak sekitar 8 KM," ucapnya.
Dia menambahkan, anaknya dijemput oleh Polisi seminggu setelah kejadian penganiayaan di Gedongkuning, Kota Yogyakarta.
Namun, saat penjemputan Aan merasa ada kejanggalan yakni dia tidak diperbolehkan untuk momotret surat penangkapan dari pihak kepolisian.
"Ketika saya foto tidak boleh gitu tetapi polisi seolah-olah kaya ada serah terima surat gitu. Saya difoto oleh Polisi untuk dokumentasi, tapi ketika suratnya saya minta itu enggak boleh dan saya memang agak kurang tahu persis isinya," jelas dia.
Kejanggalan lain juga dialami dirinya, saat anaknya dibawa oleh polisi dia diperbolehkan menyusul oleh polisi yang membawa anaknya.
Satu jam setelahnya Aan menyusul ke kantor Polisi, namun saat dia menyusul justru diminta untuk pulang.
"Tapi oleh Polisi disuruh pulang ya Itu polisi juga mengatakan 'belum selesai bu pemeriksaannya. Ibu pulang aja mungkin masih lama sampai tengah malam. Aman kok Bu Polisi Zaman sekarang enggak kayak polisi zaman dulu ," ucap dia menirukan perkataan Polisi.
Anaknya ditatangkap polisi pada tanggal 9 April 2022 malam dia menyusul keesokan harinya ke kantor Polisi dan dia kembali diminta untuk pulang.
Namun, sesampainya di rumah dia diberi sebanyak 3 surat dari Polisi.
"Tengah malam Polisi langsung memberi surat tiga macam. Surat pemeriksaan, surat penangkapan, surat penetapan tersangka dan penahanan," imbuh dia.
Keesokan harinya dia menyusul ke Polsek dimana anaknya ditahan namun, dia tidak bisa bertemu dengan anaknya karena anaknya sudah tidak beada di Polsek.
"Ternyata saya dengar sudah ada conference di Polda, anak saya sudah diumumkan kepada publik secara resmi. Kalau suratnya kan malamnya sudah saya terima kemudian besoknya press conference," ucap dia.
Baca juga: Terdakwa Klitih Gedongkuning Tolak Seluruh Dakwaan JPU, Klaim Dirinya Korban Salah Tangkap Polisi
Dugaan rekayasa kasus ini bermula dari dia tidak bisa bertemu dengan anaknya karena harus menjalani karantina lantaran masih dalam pandemi Covid-19.
Selain itu, saat rekonstruksi kejadian juga dirasa janggal.
Rekonstruksi dilakukan di Polsek tidak di TKP, penjelasan dari polisi pada saat itu adalah untuk alasan keamanan dan dirinya masih bisa menerima.
tetapi, rekonstruksi yang dilakukan pada saat itu bersifat tertutup.
Dijelaskan olehnya, orangtua hanya diberi jatah satu orang untuk mendampingi, selaian itu orangtua tidak diperkenankan membawa gawai, tidak boleh merekam, dan saat rekonstruksi banyak aparat bersenjata.
Saat rekonstruksi menurut dia juga berjalan dengan aneh, karena para terdakwa diarahkan gerakannya oleh Polisi.
"Sangat janggal dan ketika rekonstruksi ini kelihatan sekali, bagaimana para tersangka itu mereka melakukan apa yang di komando Polisi. Misalnya gerakan satu seperti ini, gerakan dua seperti ini, seperti ini, itu kan ya karena memang mereka bukan pelaku," pungkasnya. ( Tribunjogja.com )