Berita Bisnis Terkini
PHRI DIY Khawatir, RKUHP Tentang Larangan Check In Bukan Pasutri Pengaruhi Okupansi Turis Asing
PHRI khawatir okupansi hotel khususnya untuk tamu atau wisatawan mancanegera (Wisman) akan turun apabila draf RKUHP disetujui.
Penulis: Miftahul Huda | Editor: Gaya Lufityanti
TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) pasal 415 tentang pemidanaan pasangan bukan suami istri di hotel, menuai kontroversi dari Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia ( PHRI ) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Mereka khawatir okupansi hotel khususnya untuk tamu atau wisatawan mancanegera (Wisman) akan turun apabila draf RKUHP itu disetujui.
Ketua PHRI DIY Deddy Pranawa Eryana mengatakan walaupun memang angka itu masih tergolong stagnan untuk saat ini.
Namun capaian itu sudah jauh lebih baik ketimbang sejak pandemi Covid-19 tahun lalu.
Baca juga: Begini Penolakan PHRI Sleman Soal Pasangan Belum Muhrim Dilarang Check In di Hotel
"Saat ini sudah mulai bergerak walaupun masih stagnan okupansi masih sekitar 30 persen paling banyak. Tapi ini sudah mulai kemajuan dibanding pandemi yang kemarin," kata Deddy saat dihubungi awak media, Rabu (26/10/2022).
Disampaikan Deddy, wisatawan asing yang datang ke DIY masih didominasi dari turis Eropa dan Asia.
Kemudian untuk wisatawan lokal Indonesia sendiri okupansi berada di angka 40-50 persen.
"Ini meningkat di Oktober bagus, rata-rata 80 persen untuk hotel bintang, non bintang sekitar 60 persen," ucapnya.
Di tengah kabar baik itu, mereka khawatir akan terjadi penurunan pemesanan kamar hotel karena adanya aturan yang berisi pasal perzinahan check in hotel bukan pasangan menikah atau bukan suami istri bakal dipenjara, dalam RKUHP di pasal 415 dan pasal 416 yang berbunyi ‘setiap orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 bulan atau pidana denda paling banyak kategori II'.
Baca juga: RKUHP soal Ancaman Pidana Bagi Pasangan di Luar Nikah yang Check In di Hotel, Ini Respon PHRI DIY
"Kami kan juga ingin membidik pasar (mancanegara) yang lain. Jangan lah, undang-undang itu dipaksakan. Saya kira itu ndak perlu, belum penting," terang Deddy.
"Dikhawatirkan kalau rancangan undang-undang disahkan justru akan anjlok (okupansi). Kita baru berjuang jangan diganjel dengan aturan-aturan yang aneh," tuturnya.
Menurutnya pemerintah semestinya membantu sektor pariwisata untuk lebih bangkit kembali dalam pasca pandemi Covid-19 saat ini. ( Tribunjogja.com )