Gelar Audiensi dengan GKR Hemas, Resikplus Dorong Kolaborasi Pengelolaan Sampah
Kolaborasi dan gerakan masyarakat dari lingkup paling kecil dapat menjadi solusi dalam menangani permasalahan sampah.
Penulis: Hanif Suryo | Editor: Muhammad Fatoni
TRIBUNJOGJA.COM - Sampah bukan hanya merupakan tanggung jawab pemerintah, namun juga menjadi tanggung jawab masyarakat.
Kolaborasi dan gerakan masyarakat dari lingkup paling kecil dapat menjadi solusi dalam menangani permasalahan sampah.
Hal tersebut diungkapkan praktisi bisnis pengelolaan sampah "Resikplus", Mara Trishel, saat menggelar audiensi dengan anggota MPR RI Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Hemas di Kraton Kilen.
Turut didampingi Bayu Imamtoko (praktisi teknis pengelolaan sampah Resikplus), serta Nanang Wiwid (manajer Resikplus), dalam kesempatan tersebut Mara juga memaparkan kegiatan terkait pengelolaan sampah yang sudah dilakukan selama lima tahun terakhir di Yogyakarta oleh Resikplus.
Serta, diskusi dan permohonan arahan dari GKR Hemas untuk pengelolaan sampah Yogyakarta yang lebih baik.
"Pengelolaan sampah bisa berjalan dengan baik jika dilakukan oleh semua pihak yang diatur dalam sebuah sistem pengelolaan secara terpadu dengan mengkolaborasikan antara pemerintah, masyarakat dan swasta," ujar Mara.
Ditambahkannya, kegiatan Pengelolaan sampah dapat diawali dengan pemetaan potensi (ketersediaan fasilitas layanan persampahan, tingkat pemahaman masyarakat terkait pengelolaan sampah) dan keterbatasan (lahan, SDM pengelola, teknologi) setiap wilayah di Yogyakarta seperti halnya desa dan kota sehingga memungkinkan adanya kolaborasi dalam bentuk rumusan program “Desa Gendong Kota, Desa Gendong Wisata, dan Desa Gendong Industri” yang intinya adalah bagaimana membuat desa berdaya untuk menyelesaikan permasalahan sampah perkotaan yang wilayahnya tidak memungkinkan untuk melakukan pengelolaan.
"Kebutuhan edukasi terhadap masyarakat yang harus dapat menyentuh sampai level bawah dan dilakukan secara luas. Semua sampah bisa diolah dengan mudah asalkan sistem pengelolaannya benar," papar dia.
Turut hadir dalam audiensi tersebut, Prof. Gunawan Sumodiningrat, Ph.D selaku akademisi dalam bidang pemberdayaan masyarakat dan ekonomi kerakyatan yang juga sebagai penasehat Resikplus.
Gunawan Sumodiningrat memaparkan, bahwa sampah harus diolah supaya bisa menjadi berkah bukan malah nambah masalah.
"Nah, untuk kegiatan pengolahan ini tenaga/pekerjanya harus dibayar dengan wajar. Kalo tidak mau membayar maka masyarakat selaku produsen sampah harus mengolahnya secara mandiri," ujar dia.
Ia menambahkan, sampah yang sudah diolah tidak akan mengganggu lingkungan, bisa menjadi daya dukung bagi masyarakat untuk meningkatkan taraf hidupnya masyarakat yang berdaya dan berbudaya.
Ditambahkan lagi tentang definisi Produsen sampah, menurut Beliau ada dua kategori yaitu produsen selaku pembuat produk yaitu perusahaan dan produsen yang menggunakan produk dan kemudian menghasilkan sampah yaitu masyarakat.
Sehingga, yang seharusnya bertanggung jawab dengan sampah adalah kedua pihak tersebut yaitu perusahaan dan masyarakat.
"Tugas Pemerintah sebenarnya hanya sebatas regulator aturan dan pembuat kebijakan. Namun karena sistem pengelolaan sampah yang ada di masyarakat belum dapat berjalan dengan baik, pada akhirnya pemerintah turun tangan untuk mengelola semua sampah tersebut dengan menyediakan fasilitas layanan persampahan mulai depo/TPS, layanan angkut hingga tempat pembuangan akhir atau TPA," ujar dia.
"Akar Permasalahan tentang sampah adalah karena minimnya pemahaman masyarakat tentang sistem pengelolaan sampah, sehingga sangat penting sekali adanya edukasi kepada masyarakat. Untuk itulah, kedepan Resikplus diharapkan dapat membantu pemerintah dan masyarakat melalui layanan edukasi dan pelatihan pengelolaan sampah dalam bentuk pusat pelatihan atau Training Center berdasar pengalaman yang sudah dilakukan," lanjutnya.
"Tidak lupa bahwa harus ada kolaborasi lima elemen (penta-helix) untuk bisa menyelesaikan masalah persampahan ini, antara lain adalah : Akademisi (rumusan konsep), Bisnis (usaha), Komunitas(Masyarakat) , Government(pemerintah) dan Media (sistem informasi) sehingga sistem pengelolaan sampah dapat berjalan secara terus berkesinambungan," tambahnya.
Dalam kesempatan yang sama, Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Hemas menegaskan bahwa masalah sampah ini sebenarnya bukan masalah yang datang tiba-tiba.
Masalah persampahan ini timbul karena adanya perubahan-perubahan kondisi dan situasi zaman, perkembangan teknologi yang berdampak pada kebijakan pemerintah, gaya hidup masyarakat dan daya dukung lingkungan.
"Perubahan-perubahan yang berlangsung secara bertahap dan bertahun-tahun itu, tanpa disadari telah merubah pola hidup dan budaya masyarakat menuju hal yang praktis dan instan termasuk sampah. Lebih banyak masyarakat yang membuang sampah daripada mengolahnya secara mandiri," ujar GKR Hemas.
Menurutnya, pengelolaan sampah membutuhkan kebijakan yang harus bisa memfasilitasi kepentingan semua pihak (pemerintah-swasta-masyarakat).
Selanjutnya, sistem pengelolaan sampah wilayah harus direncanakan dengan baik, secara komprehensif dan terukur baik target capaian dan jangka waktunya.
Harus ada langkah-langkah strategisnya baik itu jangka pendek, menengah dan jangka panjang.
Seperti halnya permasalahan TPA Piyungan yang sering tutup, harus segera disolusikan jangka pendeknya yang itu tidak mudah diputuskan.
Tak kalah penting, teknologi pengolahan sampah harus benar-benar dikaji, sudah banyak investor luar negeri yang siap dengan teknologi pengolahan sampah di TPA, namun apakah kita siap jika retribusinya menjadi mahal jika menggunakan teknologi tersebut, belum lagi kajian teknis teknologi tersebut apakah benar-benar dapat menyelesaikan atau nantinya malah menjadi beban.
Selanjutnya, perlunya sistem pengelolaan yang baik mulai hulu hingga hilir sampah, sehingga program-program pengelolaan sampah itu tidak terhenti ditengah jalan.
Diambil langkah praktis namun harus dikaji feasibility study-nya sehingga langkah tersebut layak untuk dijalankan.
"Melibatkan masyarakat mulai dari lingkup terkecil seperti halnya PKK, Karang taruna melalui program-program pengelolaan sampah yang mudah dipahami dan dilakukan oleh masyarakat yang tentunya harus memberikan nilai tambah kepada masyarakat," ujar GKR Hemas.
"Semua hal di atas bukan hal yang mudah dilakukan dalam waktu yang singkat, minimalnya mungkin 10 tahun baru bisa, namun hal tersebut juga bukan merupakan hambatan untuk kita mulai bergerak mengelola sampah dari sekarang. Mulai dari yang sederhana, mulai dari yang ada dan yang bisa," lanjutnya.
Pada intinya, lanjut GKR Hemas, pengelolaan sampah secara mandiri ini harus dimulai mulai dari level terkecil, didukung dengan edukasi dan pelatihan kepada masyarakat oleh tenaga yang ahli persampahan dengan kolaborasi berbagai pihak.
Mulai praktisi, akademisi dan bisnis dalam hal ini diimplementasikan oleh Resikplus yang didukung oleh pemerintah, untuk bergotong royong membangun sistem pengelolaan sampah berbasis pemberdayaan masyarakat untuk menjadi solusi bersama dalam menyelesaikan masalah darurat sampah di Yogyakarta agar menjadi program yang juga bisa memberikan dampak positif bagi kemakmuran masyarakat yang berdaya dan berbudaya dalam mengelola sampahnya. (*)