G30S
PROFIL Letkol Untung, Perwira yang Tidak Beruntung dalam Tragedi G30S, Dijatuhi Hukuman Mati
Nama Letkol Untung bin Syamsuri selalu disebut-sebut sebagai pemimpin tragedi G30S yang menewaskan tujuh jenderal di malam nahas 1 Oktober 1965.
Penulis: Bunga Kartikasari | Editor: Rina Eviana
TRIBUNJOGJA.COM - Nama Letkol Untung bin Syamsuri selalu disebut-sebut sebagai pemimpin tragedi G30S yang menewaskan tujuh jenderal di malam nahas 1 Oktober 1965.
Sebelum peristiwa berdarah di tahun itu, Untung diangkat sebagai anggota Tjakrabirawa, pasukan pengaman presiden di Istana.
Peristiwa G30S sendiri dipantik dari kabar angin yang tersiar adanya sekelompok jenderal yang akan melakukan kudeta terhadap Presiden Sukarno.
Lalu siapa sebenarnya dan bagaimana profil Letkol Untung ini, sebelum jatuhnya peristiwa G30S?
Letnan Kolonel Untung Syamsyuri lahir pada 3 Juli 1926 dan meninggal 28 September 1967.
Ia berasal dari Solo. Nama kecilnya adalah Kusman.
Ayahnya bernama Abdullah dan bekerja di sebuah toko peralatan batik di Pasar Kliwon, Solo.
Sejak kecil, Kusman telah diangkat anak oleh pamannya yang bernama Syamsuri. Sehingga, dia menggunakan nama Syamsuri.
Nama Untung sendiri dia pakai di tahun 1950-an setelah terlibat dalam Peristiwa Madiun 1948 lantaran menjadi salah satu komandan peleton Batalyon Sudigdo.
Ia pun membersihkan diri dan menggunakan nama Untung Syamsuri.
Kusman masuk sekolah dasar di Ketelan dan di sanalah dia mengenal permainan bola dan menjadi hobinya kemudian hari.
Karena senang bermain bola Kusman pernah menjadi anggota KVC (Kaparen Voetball Club) di desanya.
Setelah lulus sekolah dasar, Kusman melanjutkan ke sekolah dagang namun tidak sampai selesai karena Jepang mulai masuk ke Indonesia dan Kusman bergabung ke dalam Heiho, pasukan Indonesia bentukan tentara Jepang pada masa Perang Dunia II.
Letnan Kolonel Untung Sutopo bin Syamsuri adalah tentara lulusan Tentara Keamanan Rakyat (TKR).
Pada masa pendidikan, ia bersaing dengan LB Moerdani, perwira muda yang sangat menonjol dalam lingkup Resiman Pasukan Komando Angkatan Darat (RPKAD).
Mereka berdua sama-sama bertugas dalam operasi perebutan Irian Barat dan Untung merupakan salah satu anak buah Soeharto yang dipercaya menjadi Panglima Mandala.
Untung dan Benny tidak lebih satu bulan berada di Irian Barat karena Soeharto telah memerintah gencatan senjata pada tahun 1962.
Dalam operasi Trikora itu, Untung akhirnya mendapatkan penghargaan Bintang Sakti dari Presiden di usianya yang ke-36.
Pangkat Untung masih Mayor.

Sebelum ditarik ke Resiman Tjakrabirawa, Untung pernah menjadi Komandan Batalyon 454/Banteng Raiders yang berbasis di Srondol, Semarang.
Batalyon ini memiliki kualitas dan tingkat legenda yang setara dengan Yonif Linud 330/Kujang dan Yonif Linud 328/Kujang II. Kelak dalam peristiwa G30S ini, Banteng Raiders akan berhadapan dengan pasukan elite RPKAD di bawah komando Sarwo Edhie Wibowo.
Setelah G30S meletus dan gagal dalam operasinya, Untung melarikan diri dan menghilang beberapa bulan lamanya sebelum kemudian ia tertangkap secara tidak sengaja oleh dua orang anggota Armed di Brebes, Jawa Tengah.
Ketika tertangkap, ia tidak mengaku bernama Untung.
Anggota Armed yang menangkapnya pun tidak menyangka bahwa tangkapannya adalah mantan Komando Operasional G30S.
Setelah mengalami pemeriksaan di markas CPM Tegal, barulah diketahui bahwa yang bersangkutan bernama Untung.
Setelah melalui sidang Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub) kilat, Untung pun dieksekusi di Cimahi, Jawa Barat pada tahun 1966, setahun setelah G30S meletus.
KIPRAH DI RESIMEN TJAKRABIRAWA
Resimen Cakrabirawa di bawah komando Letkol Untung kemudian dipercaya untuk melakukan aksi penculikan terhadap Dewan Jenderal yang diduga akan mengkudeta Presiden Soekarno.
Karier Untung memang dekat pusaran politik nasional.
Dia digadang sebagai orang yang bertanggung jawab membunuh para jenderal hanya karena adanya isu liar terkait kudeta Presiden Sukarno.
"Momen tepat untuk menindak para Jenderal yang tidak loyal pada Presiden. Menjelang 5 Oktober para Jenderal Angkatan Darat yang akan menjadi sasaran penculikan, kemungkinan besar berada di Jakarta untuk menghadiri acara. Artinya, tidak sulit untuk menjangkau para Jenderal itu selama masih berada di Jakarta (pikir Untung)," tulis Petrik Matanasi, dalam bukunya yang berjudul Tjakrabirawa.
Untung lalu mengontak bekas anak buahnya di Kodam Diponegoro. Berbekal isu kup tersebut, Untung kemudian membentuk tiga kelompok kepemimpinan perwira Tjakrabirawa.
"Pertama, Pasopati, kedua Bimasaksi, dan ketiga bernama Pringgodani. Semua dipimpin perwira Tjakrabirawa, anak buah Untung," tulis Petrik.
Ketiga pasukan ini memiliki peranannya masing-masing dalam bersiaga dalam operasi penculikan dan pembinasaan para jenderal yang disangka ingin melakukan kup terhadap Sukarno.
Pasopati adalah pasukan yang bertugas menculik dan membunuh secara langsung ketujuh Jenderal Angkatan Darat yang akan diculik.
Bimasakti adalah pasukan yang bertugas di Jakarta Pusat. Mereka berjaga kawasan di Medan Merdeka, dekat Monumen Nasional (Monas).
Pringgodani adalah pasukan yang bertugas mempertahankan pangkalan Halim Perdanakusuma dan mengamankan Presiden Sukarno bila berada di instalasi militer.
"Pangkalan udara Halim Perdanakusumah adalah basis utama G30S," tulis Petrik.
Semua pasukan telah terpetakan, eksekusi pun dilakukan pada Tanggal 1 Oktober 1965 dini hari.
Pasukan Pasopati menunaikan perintah Untung untuk membinasakan para jenderal yang menjadikan rekam kelam jejak Tjakrabirawa.
( Tribunjogja.com / Bunga Kartikasari )