Imbas Kenaikan Harga BBM Bersubsidi, Hiswana Migas DIY Prediksi Pertamax Turbo Bakal Lebih Laku

Dengan selisih harga Pertamax dengan Pertamax Turbo yang sangat tipis, maka bukan tidak mungkin masyarakat juga akan membeli Pertamax Turbo

Penulis: Miftahul Huda | Editor: Muhammad Fatoni
pertamina.com
PT Pertamina (Persero) melakukan penyesuaian harga bahan bakar minyak (BBM) Umum dalam rangka mengimplementasikan Keputusan Menteri (Kepmen) ESDM No. 62 K/12/MEM/2020 

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Himpunan Wiraswasta Nasional Minyak dan Gas (Hiswana Migas) akan mencermati satu pekan ke depan mengenai efek sosial di masyarakat atas kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) sejak Sabtu (3/9/2022) kemarin.

Ketua Dewan Pertimbangan Hiswana Migas Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Siswanto, menyebut kenaikan harga BBM tidak berdampak pada turunnya konsumsi BBM terhadap kendaraan yang dimiliki masyarakat.

Malahan, dia optimis dengan selisih harga Pertamax dengan Pertamax Turbo yang sangat tipis, maka bukan tidak mungkin masyarakat juga akan membeli BBM non subsidi jenis Pertamax Turbo tersebut.

"Antrean di SPBU ya, tetep rame. Ke depan ini kayaknya yang Pertamax Turbo juga akan laku, karena jarak harganya dengan Pertamax sudah tidak jauh," katanya, Minggu (4/9/2022).

Sebagai informasi, rincian harga BBM bersubsidi yang mengalami kenaikan sejak Sabtu kemarin antara lain :

- Harga Pertalite dari Rp 7.650 per liter menjadi Rp 10.000 per liter

- Harga Solar subsidi dari Rp 5.150 per liter menjadi Rp 6.800 per liter

- Harga Pertamax dari Rp 12.500 menjadi Rp 14.500 per liter.

Sementara untuk harga BBM non subsidi jenis Pertamax Turbo, Dexlite dan Pertamina Dex turun beragam pada masing-masing wilayah atau provinsi berkisar antara Rp700 sampau Rp 2.000 per liter.

Hal ini seperti pada wilayah DKI Jakarta, harga Pertamax Turbo turun dari Rp 17.900 per liter menjadi Rp 15.900 per liter.

Kemudian harga Dexlite dengan Cetane Number (CN) 51 turun dari Rp 17.800 per liter menjadi Rp 17.100 per liter, serta Pertamina Dex (CN 53) turun dari Rp 18.900 per liter menjadi Rp 17.400 per liter.

Pertamax Turbo Rp 15.900 per liter berlaku di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, DI Yogyakarta, Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB), dan Nusa Tenggara Timur (NTT).

Adanya perubahan harga tersebut dipastikan Siswanto tidak berdampak pada terganggunya stok BBM dari pengusaha swasta.

Sementara, pakar kebijakan publik UGM, Wahyudi Kumorotomo, menyatakan bahwa pemerintah perlu untuk membuat kerangka kebijakan yang lebih komprehensif. 

Tidak bisa lantas reaktif saja membuat keputusan untuk menaikkan harga BBM.

"Nah sekarang kita perlu buat kerangka kebijakan yang komprehensif. Bahwa pertama perlu diversifikasi energi dan kedua perlu upayakan di sektor transportasi itu, memang betul-betul cara kita menggunakan transportasi itu lebih hemat, lebih tidak tergantung pada energi fosil," ujar Wahyudi saat dihubungi, Minggu (4/9/2022).

Menurutnya semua pihak perlu mempersiapkan diri sebaik-baiknya terhadap krisis energi di masa yang akan datang. 

Mengingat dampaknya yang akan besar dan sangat dirasakan bagi masyarakat. 

Pemerintah dan masyarakat perlu bersinergi untuk memecahkan persoalan energi. 

Salah satunya dengan persiapan mengambil kebijakan dalam jangka panjang.

"Jangan hanya reaktif seperti yang sekarang ini, karena tiba-tiba mendadak ya ABPN tidak bisa 'nomboki' untuk subsidi energi kita, tiba-tiba menaikkan lalu masyarakat bergejolak," ucapnya.

"Itu karena kita tidak menyiapkan pola dimana kita bisa lebih hemat dengan energi. Pemerintah juga perlu memperhatikan kebutuhan masyarakat dengan menyediakan transportasi publik dan energi alternatif," sambungnya.

Negara disebut terlambat untuk memberikan kesadaran secara kolektif untuk lebih menghemat energi yang tersisa. 

Misalnya saja bisa dimulai dengan bersepeda untuk jarak pendek hingga menggunakan kendaraan listrik seperti yang telah dilakukan di berbagai negara maju.

Jika tak ada perencanaan yang matang terkait persoalan energi ini, kata Wahyudi, semua pihak akan terus menerus terkaget-kaget seperti saat ini. 

"Jadi kalau tidak ada kerangka kebijakan energi dalam jangka panjang yang komprehensif dimana pemerintah dan masyarakat itu mengantisipasi persoalan energi dalam jangka panjang, kita akan tetap terkaget-kaget terus," tegasnya.

Padahal, lanjut Wahyudi, diketahui bahwa perkiraan minyak di Indonesia akan habis pada tahun 2030an mendatang.

Sehingga mau tidak mau negara harus terus mengimpor. 

"Nah kalau kita tidak siapkan masyarakat, kemudian fasilitas transportasi publik, kebiasaan kita juga masih menggunakan pola-pola lama yang menyebabkan polusi. Maka ya kita akan terkaget-kaget lagi kalau andaikan terjadi gejolak harga minyak," terangnya.

Ia menambahkan untuk semua pihak tak hanya bergantung pada minyak saja. Ada banyak sumber energi baru dan terbarukan yang bisa dimanfaatkan.

"Jangan tergantung pada minyak karena jelas minyak itu suatu saat akan habis dari Indonesia dan kita sebenarnya sumber energi alternatif itu banyak selain minyak," pungkasnya. (*)

Sumber: Tribun Jogja
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved