Tak Diizinkan Berjualan di Zona Dua Candi Borobudur, Pedagang Asongan Mengadu ke Pemprov Jateng
Sejumlah pedagang asongan yang berjualan di area zona dua Candi Borobudur membuat aduan kepada Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Tengah (Jateng)
Penulis: Nanda Sagita Ginting | Editor: Kurniatul Hidayah
Laporan Reporter Tribun Jogja, Nanda Sagita Ginting
TRIBUNJOGJA.COM, MAGELANG - Sejumlah pedagang asongan yang berjualan di area zona dua Candi Borobudur membuat aduan kepada Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Tengah (Jateng) terkait perizinan berjualan di area tersebut.
Yang di mana, notabene area zona dua Candi Borobudur yang dimaksud merupakan bagian halaman depan Museum Karmawibhangga.
Area tersebut, merupakan kawasan yang diolah pihak PT Taman Wisata Candi Borobudur (TWC).
Penjual patung perunggu yang berjualan di area itu, Khodiran (48) mengatakan, persoalan itu bermula ketika pihak Taman Wisata Candi (TWC) melayangkan undangan kepada para pedagang agar tidak berjualan lagi di sekitar area zona dua. Undangan tersebut, diterima sekitar lebaran tahun ini.
Baca juga: Polres Gunungkidul Amankan Tiga Pria atas Kasus Penganiayaan Seorang Pelajar
Ia menambahkan, sebelumnya hubungan mitra kerja sama antara pedagang dan pihak PT TWC sudah terjalin apik.
Di mana, kerja sama itu ditandai berbekal dengan diberikannya kartu izin berjualan (KIB) bagi pedagang yang dikeluarkan oleh pihak manajemen TWC.
"Akhir-akhir ini kan permasalahannya, kami diizinkan dalam arti kami diberi KIB untuk bermitra dengan TWC. Tetapi, sejak adanya PPKM dan Covid-19 kami dibatasi tidak boleh berkegiatan apapun, selama dua tahun. Kami menghormati dan menghargai," terangnya usai gelar audiensi dengan Pemrov Jateng di Bale Mijil, Candirejo, Magelang, Senin (13/06/2022)
"Tetapi, kami berharap (bisa berjualan lagi) dengan adanya Covid-19 segera berlalu dan Candi Borobudur dibuka. Kenyataannya, setelah dibuka kami tidak dikasih peluang, tidak dikasih tempat seperti dulu kami bekerja dan berjualan," tambahnya.
Ia menjelaskan, dirinya bersama dengan sekitar 350-400 pedagang tersebut sudah mematuhi segala aturan dan saran yang diberikan pihak TWC.
Mulai dari penggunaan seragam hingga dibuat spot untuk berjualan agar tidak menganggu pengunjung.
"Itu kan ada banyak kelompok pak. Khusus di kami ada 14 komunitas. Itu sudah terorganisir, itu dari dulu sudah bagus sudah sudah dibuat sif-sif-an, sudah ada aturannya sendiri. Dengan tata cara harus berseragam, (dibuat) ber rap-rap (tertata), ini kelompok ini disini, jadi mengurangi kesembrawutan. Itu, sudah berjalan baik. Kalau, (penjual) yang di bawah area parkir mobil itu sudah terbentuk kelompok sendiri-sendiri. Ini, khusus yang di atas situ. Kalau seragam itu, kami buat sendiri atas saran dari TWC," terangnya.
Namun yang disesalkan, lanjut Khodiran, di tengan pelarangan berjualan bagi pedagang di area museum tersebut.
Ia mengklaim, pihak TWC malahan yang berjualan di sana.
"Kami tidak boleh jualan itu, tetapi dari TWC malah jualan pak, macam-macam ada kegiatan komersil. Teman kami (sesama pedagang) membawa 10 minuman dikejar-kejar sampai luar, besok diancam ditakut-takuti. Kami gak boleh, dia (TWC) malah mengadakan jualan seperti yang kami jual. Itu malah, bertruk-truk , berkontainer dikasih tempat dimana-mana dikasih jualan. Kami disingkirkan keadilan di mana?,"tuturnya.
Tak hanya itu, yang menjadi keluhan lainnya. Kata Khodiran yakni, terkait aktivitas lain yang ada di dalam area tersebut.
Baca juga: Angka Kecelakaan Lalu Lintas Sepanjang Januari-Juni 2024 di Kulon Progo Capai 373 Kasus
"Di sana juga ada andong ada tayo. Kami kan, punya pikiran aja kalau seperti andong kan kudanya ngamuk bisa membahayakan pengunjung toh. Itu saja boleh kok, (kami) ndak boleh. Istilahnya, itu saya ndak cemburu dengan yg lain monggo mencari rezeki. Karena, kami itu difinish tidak boleh itu (jualan) itu yang sing kami rasa tidak ada keadilan," terangnya.
Adanya kebijakan pelarangan berjualan di area tersebut. Membuat Khodiran kehilangan mata pencahariannya. Bahkan, dirinya mengaku kesulitan untuk membiayai sekolah anaknya.
"Sama sekali tidak punya penghasilan. Sampai untuk sanguni anak sekolah saja tidak bisa. Apalagi, yang punya tanggungan sama bank itu sering beberapa bulan tidak bisa bayar. Dulu, pendapatan sekadar menafkahi cukup utk sangu anak sekolah ya ada bisa lancar. Ini sama sekali tidak ada. Dulu, sehari bisa Rp100 ribu-Rp150 ribu sehari," terangnya. (ndg)