Buya Syafii Wafat

Profil dan Rekam Jejak Buya Syafii Maarif, Tokoh Bangsa dan Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah

Mantan Ketum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Ahmad Syafii Maarif atau Buya Syafii meninggal dunia di RS PKU Muhammadiyah Gamping, Jumat (27/5/2022)

Penulis: Noristera Pawestri | Editor: Rina Eviana
kompas.com
Buya Syafii Maarif 

Tribunjogja.com - Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Ahmad Syafii Maarif atau Buya Syafii meninggal dunia di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Gamping pada Jumat (27/5/2022) pukul 10.15 WIB.

Buya Syafii sebelumnya sempat dirawat di RS PKU Muhammdiyah Gamping sejak 14 Mei 2022 lalu akibat mengalami sesak napas.

Kondisi Ketum PP Muhammadiyah periode 1998-2005 tersebut sempat membaik dan tidak begitu sesak napas.

Presiden Jokowi saat menjenguk Buya di Gamping Sleman
Presiden Jokowi saat menjenguk Buya di Gamping Sleman (DOK. YouTube Sekretariat Presiden)

Bahkan, dokter juga sudah memperbolehkan Buya Syafii Maarif pulang ke rumah.

Berikut profil Ahmad Syafii Maarif semasa hidup:

Ahmad Syafii Maarif atau yang akrab dipanggil Buya Syafii lahir di Sumpur Kudus, Minangkabau 31 Mei 1935.

Beliau merupakan anak bungsu dari 4 bersaudara dari pasangan Ma'rifah Rauf Datuk Rajo Malayu dan Fatimah.

Dikutip dari Surya, sewaktu Syafii berusia satu setengah tahun, ibunya meninggal.

Syafii kemudian dititipkan ke rumah adik ayahnya yang bernama Bainah, yang menikah dengan adik seibu ibunya yang bernama A. Wahid.

Pada tahun 1942, ia dimasukkan ke sekolah rakyat (SR, setingkat SD) di Sumpur Kudus.

Sepulang sekolah, Pi'i, panggilan akrabnya semasa kecil, belajar agama ke sebuah Madrasah Ibtidaiyah (MI) Muhammadiyah pada sore hari dan malamnya belajar mengaji di surau yang berada di sekitar tempat ia tinggal, sebagaimana umumnya anak laki-laki di Minangkabau pada masa itu.

Pendidikannya di SR, yang harusnya ia tempuh selama enam tahun, dapat ia selesaikan selama lima tahun.

Baca juga: Kenangan Buya Syafii Semasa Hidup di Mata Murid dan Sahabat: Toleransi Beliau Bukan Cuma di Bibir 

Ia tamat dari SR pada tahun 1947, tetapi tidak memperoleh ijazah karena pada masa itu terjadi perang revolusi kemerdekaan.

Namun, setelah tamat, karena beban ekonomi yang ditanggung ayahnya, ia tidak dapat meneruskan sekolahnya selama beberapa tahun.

Baru pada tahun 1950, ia masuk ke Madrasah Muallimin Muhammadiyah di Balai Tangah, Lintau sampai duduk di bangku kelas tiga.

Halaman
123
Sumber: Tribun Jogja
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved