Mutiara Ramadhan Tribun Jogja LDNU DIY
Lebaran dan Melindungi Lingkungan
Beberapa hari menjelang Ramadan yang lalu penulis sangat bersyukur dapat sowan (bersilaturahmi) ke ndalem-nya Kyai Ali Yafie di Jakarta.
Salah satunya, seperti terkatakan dalam istilah popular “merusak alam dari meja makan”. Artinya, kerusakan alam bukan saja disebabkan oleh perusakan-perusakan dalam sekala besar seperti oleh perusahaan, industri pertambangan, pertanian sawit dalam skala luas, dan lain-lain. Itu benar adanya.
Namun lebih dari itu kerusakan alam juga dapat disebabakan oleh gaya hidup kita sehari-hari, misalnya bagaimana kita mengonsumsi makanan, cara memakai listrik, cara mengolah sampah, dan seterusnya.
Menarik mencermati laporan Greenpeace Indonesia belakangan ini. Laporan tersebut menyebut volume sampah meningkat hingga 289 ton per hari selama bulan Ramadan di Jakarta saja. Tidak ada laporan di kota-kota lain, misalnya di Yogyakarta, tetapi dapat dipastikan di kota-kota lain juga demikian.
Di antara tumpukan sampahdi negeri ini pada umumnya mengandung banyak plastik, stereofoam, sampah kimiawi, dan lain-lain yang tidak bisa atau sulit diurai oleh tanah. Sehingga dalam jangka panjang sangat membayakan bumi dan kita telah merasakan efeknya.
Tak lama lagi kita akan menyongsong Idulfitri (Lebaran). Inspirasi dari Kyai Ali Yafie tentang khifdzul bi’ah (melindungi lingkungan) seharusnya kita adopsi sebagai bagian dari hidup sehari-hari, termasuk dalam menjalani Idulfitri.
Idulfitri identik dengan dengan kesucian. Mungkinkah kita menafsirkannya dengan lebih mendalam. Yaitu, Idulfitri bukan hanya momen untuk memohon maaf kepada Allah dan kepada sesama manusia, tetapi juga memohon maaf kepada alam dan lingkungan hidup. (*)