Mutiara Ramadhan Tribun Jogja LDNU DIY
Lebaran dan Melindungi Lingkungan
Beberapa hari menjelang Ramadan yang lalu penulis sangat bersyukur dapat sowan (bersilaturahmi) ke ndalem-nya Kyai Ali Yafie di Jakarta.
Oleh: Suhadi Cholil, Wakil Katib Syuriyah PWNU Yogyakarta
TRIBUNJOGJA.COM - Beberapa hari menjelang Ramadan yang lalu penulis sangat bersyukur dapat sowan (bersilaturahmi) ke ndalem-nya Kyai Ali Yafie di Jakarta.
Figur yang santun tapi tegas ini bernama lengkap Prof Dr Anregurutta Haji Ali Yafie. Ulama, organisatoris dan akademisi par excellence ini lahir di Donggala, Sulawesi Selatan pada tahun 1926.Dalam Muktamar NU di Krapyak tahun 1989 beliau terpilih sebagai Wakil Rais Aam PBNU.
Karena KH Achmad Siddiq sebagai Rais Aam wafat pada tahun 1991, Kyai Ali naik menjadi Rais Aam untuk tahun 1991-1992. Selain di NU, beliau juga aktif di MUI.
Saat ini beliau telah berusia 96 tahun. Meskipun fisiknya mulai lemah karena usia, tetapi pikiran Kyai Ali masih sangat jernih. Kepada penulis, beliau masih dengan terang menjelaskan konsep kulliyat sitt (prinsip keenam) tentang hifdzul biah (melindungi lingkungan).
Kulliyat sitt berkaitan dengan konsep lima prinsip tujuan Syariah (kulliyat al-khamsah) yang selama ini diperkenalkan Abu Ishaq asy-Syathibi, seorang ulama ahlus sunnah wal jamaah dari madzhab Maliki. Asy-Syatibi wafat pada tahun 790 H atau 1388 M.
Lima prinsip tujuan Syariah terdiri dari hifdzud din (melindungi agama), hifdzun nafs (melindungi jiwa), hifdzul aql (melindungi pikiran), hifdzul mal (melindungi harta), dan hifdzun nasab (melindungi keturunan).
Menyikapi krisis lingkungan yang semakin parah Kyai Ali menambah satu prinsip,kulliyat sitt (enam prinsip) tentang melindungi lingkungan tersebut.
Selain itu Kyai Ali juga menyinggung dasar keyakinan umat Islam. Misalnya, konsep tentang rabbul’alamin (Tuhan semesta alam) yang biasa kita ucapkan sehari-hari. Bagi Kyai Ali, konsep Tuhan semesta alam perlu dihayati secara mendalam.
Menurut beliau orang Islam tidak boleh berpikiran sempit, Tuhan bukanlah Tuhan bagi manusia saja, melainkan Tuhan seluruh alam. Manusia dan alam di hadapan Tuhan adalah setara. Allah bukan saja melayani manusia, tapi sekaligus juga alam seperti gunung, luar angkasa, pohon, bebatuan, udara, air, dan seterusnya.
Oleh karena itu kehadiran orang Islam seharusnya menjadi rahmatan lil’alamin (rahmat bagi semesta alam). Di sini, tuntutan manusia untuk berbuat baik kepada manusia sama tingkatannya dengan tuntutan manusia berbuat baik kepada alam. Kini, alam ini sering diistilahkan sederhananya dengan lingkungan atau ekologi.
Disebutkan di dalam Alquran, “laa tufsiduu fil ardhi ba'da ishlahiha" (jangan berbuat kerusakan di bumi ini setelah ditata sedemikian baik).
Untuk memenuhi kebutuhan manusia, membangun adalah sah-sah saja. Ayat tersebut memerintahkan kita mempertimbangkan “keseimbangan” bumi yang kapasitasnya sudah ditata ulang sedemikian ini setelah pernah rusak.
Bagaimana kenyatannya? Jawabannya masih jauh panggang dari api.
Kita melakukan kerusakan tak henti-hentinya terhadap bumi dan alam semesta. Meskipun Allah mengingatkan kita dengan memberi bencana (seperti banjir, suhu udara yang kian panas, tanah longsor, pandemi Covid, dll), kita masih saja tidak memiliki kepedualian terhadap alam.
Tentu kita patut mengecam perusahaan-perusahaan raksasa yang melakukan perusakan sumber daya alam yang tanpa mempertimbangkan keseimbangan. Tetapi kita sebenarnya diam-diam juga berkontribusi terhadap kerusakan alam hampir tanpa sadar.