Puan Ingatkan Tolak Ukur Program Legislasi Harus Berkualitas, Direktur Elsam Jelaskan Maksudnya

Direktur Eksekutif Elsam menjelaskan program legislasi berkualitas yang sebaiknya dilakukan Anggota DPR.

Penulis: IJS | Editor: MGWR
DOK. Puan Maharani
Ketua YLKI meminta Ketua DPR RI untuk melakukan fungsi pengawasan terhadap kinerja pemerintah untuk mengatasi persoalan kenaikan harga minyak goreng. 

TRIBUNJOGJA.COM – Ketua DPR RI Puan Maharani mengingatkan anggota legislatif bahwa tolok ukur program legislasi yang dirumuskan DPR sebaiknya tidak berdasarkan dari banyaknya undang-undang (UU) yang dilahirkan, melainkan dari kualitasnya. Seperti apa kualitas yang dimaksud?

Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Wahyudi Djafar menjelaskan, terdapat tiga hal dalam menentukan kualitas kinerja legislasi, yakni pembaruan prosedur, keseriusan, serta model partisipasi dan sinkronisasi dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN).

“Karena proses pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) di DPR perlu memperbarui prosedur yang paling efektif, dan yang efektif itu seperti apa,” katanya dalam siaran pers, Jumat (29/4/2022). 

Soal waktu, Wahyudi meminta agar dipastikan berapa lama pembahasan sebuah RUU. Dalam time frame ini, DPR bersama pemerintah harus fokus dan serius membahas RUU tersebut.

“Untuk membahas satu RUU diperlukan keseriusan dari mereka yang ditugaskan secara khusus untuk membentuk dan menyusun RUU tersebut, baik dalam konteks panitia kerja (panja), panitia khusus (pansus), dan bentuk-bentuk yang lain diatur dalam peraturan tata tertib DPR,” ujarnya.

Menurut konstitusi di Indonesia, kata Wahyudi, pembahasan RUU adalah proses bersama DPR dan presiden. Kedua pihak harus terlibat, jadi tidak bisa mengandai-andai itu bisa diselesaikan DPR. 

Tentang metode partisipasi, lanjutnya, pelibatan seluruh stakeholder juga penting untuk memastikan kualitasnya. Sebab, banyaknya stakeholder yang terlibat berarti basis bukti dan basis pengetahuan yang jadi rujukan tersedia.

Kemudian, hal tersebut bisa jadi rujukan bagi anggota DPR ketika melakukan pembahasan RUU tersebut.

“Ketika seluruh stakeholder terlibat dalam pembahasan RUU, potensi atau risiko bahwa RUU itu hasilnya akan memberikan dampak negatif dari salah satu stakeholder itu juga diminimalkan,” sebutnya.

Sebab, lanjut Wahyudi, semua kepentingan bisa dinegosiasi dan didialogkan dalam pembahasan RUU tersebut.

Dia mencontohkan, RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) yang melibatkan berbagai stakeholder, terkhusus masyarakat sipil.

Ketika disahkan menjadi UU TPKS, publik mengapresiasi dan menjadi contoh model penyusunan RUU yang kolaboratif.

Sementara itu, terdapat pula produk legislasi semacam UU Mineral dan Batubara (Minerba), UU Cipta Karya, dan UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang akhirnya diuji di Mahkamah Konstitusi.

“Berakhirnya pengesahan RUU dengan judicial review di Mahkamah Konstitusi berarti ada persoalan dalam konteks pembahasan substansi RUU tersebut,” terangnya.

Sementara itu, kata Wahyudi, penyusunan program legislasi nasional (prolegnas) di DPR bisa melihat RPJMN. 

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved