Lemahnya Pengakuan Hutan Adat di DI Yogyakarta Bisa Jadi Sumber Kerusakan Hutan Itu Sendiri
Kisah tentang Sri Hartini, Ketua Penjaga hutan adat Wonosadi di Kapanewon Ngawen, Gunungkidul menjadi contoh bahwa masih banyak masyarakat
Penulis: Ardhike Indah | Editor: Kurniatul Hidayah
Laporan Reporter Tribun Jogja, Ardhike Indah
TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Kisah tentang Sri Hartini, Ketua Penjaga hutan adat Wonosadi di Kapanewon Ngawen, Gunungkidul menjadi contoh bahwa masih banyak masyarakat setempat yang peduli dengan lingkungan sekitar.
Sri, yang menceritakan kisahnya saat menjadi jagawana kepada tim Tribun Jogja, sempat mengatakan bahwa hutan adat itu pernah memiliki kondisi yang memprihatinkan.
Pada era 1965, ratusan pohon dibabat habis demi keperluan pribadi dan ekonomi warga. Bahkan, hanya tersisa empat pohon asem yang tumbuh asli di situ.
Hutan itu kembali lebat setelah Sudiyo, ayah Sri Hartini berupaya untuk berkomunikasi dengan warga sekitar agar mereka memahami hutan juga punya peran besar dalam keberlangsungan hidup manusia.
Merespons hal tersebut, Guru Besar di Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof Dr Ahmad Maryudi menjelaskan, lemahnya pengakuan hutan adat justru menjadi sumber kerusakan hutan itu sendiri.
Baca juga: Antisipasi Aksi Nuthuk Selama Lebaran, Pemkot Yogyakarta Siagakan Tim Aduan di Sepanjang Malioboro
“Hutan Wonosadi itu bukan hutan rakyat, atau hutan yang ada di atas lahan milik. Sebenarnya, itu masih masuk hutan negara, tapi dianggap sebagai Sultan Ground oleh DIY,” bukanya kepada Tribun Jogja, Kamis (21/4/2022).
Meski bukan hutan rakyat, namun masyarakat setempat berusaha untuk menjaga kelestarian pepohonan yang ada di daerah itu.
Sehingga, ekosistem hutan yang ada di Hutan Wonosadi bisa tercipta dengan baik lantaran masyarakatnya yang memiliki andil untuk menjadikan hutan adalah jantung kehidupan.
Diketahui, sampai saat ini, hutan adat masih menjadi hutan negara hingga tak ada perlindungan hak pengelolaan hutan oleh masyarakat adat.
Dia melanjutkan, status hutan itu terkadang membingungkan, apalagi jika berkaitan dengan pengakuan hutan adat oleh pemerintah yang belum mantap.
“Terlepas dari sudah ada keputusan Mahkamah Konstitusi di tahun 2012, proses pengakuan hutan adat oleh negara, baik di pemerintah pusat, daerah maupun keduanya, itu masih lemah,” terangnya.
Ketiadaan perlindungan hak pengelolaan hutan oleh masyarakat adat itu, kata dia, menjadikan praktek-praktek baik yang dilakukan masyarakat adat jadi tidak diakui.
Bisa jadi, usaha Sri Hartini menjaga Hutan Wonosadi tidak benar-benar diakui karena lemahnya pengakuan hutan adat tersebut.
“Di Indonesia, dan juga di negara berkembang lainnya, ada ragam masyarakat adat, termasuk kaitannya yang mengelola hutan. Namun, sistem perundangan terkait hutan dan lahan warisan kolonial itu menyederhanakannya jadi hutan negara dan hutan milik,” jelas Ahmad.
Ditambahkannya, di DIY sendiri ada hutan negara yang difungsikan untuk produksi dan lindung yang menjadi ranah kewenangan Pemerintah Daerah (Pemda) DIY.
Kemudian, ada juga hutan negara atau kawasan konservasi yang dikelola langsung oleh Unit Pelaksana Teknis (UPT) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) serta hutan rakyat.
Ditanya apa yang disumbangkan akademisi dan ilmu pengetahuan untuk ikut serta menjaga kelestarian hutan, Ahmad mengatakan pengelolaan hutan ini sudah lama menjadi wacana dunia akademis.
Ia mengungkap, berbagai kajian dan penelitian dilakukan. Berbagai Inovasi pun telah ditemukan.
Lebih dari 125 tahun yang lalu, tepatnya tahun 1895, telah dibentuk sebuah organisasi Internasional bernama International Union of Forest Research Organizations (IUFRO) yang berkantor di Vienna, yang saat ini mempunyai sekitar 700 lembaga penelitian dan universitas di seluruh dunia.
“Namun memang faktanya sumber daya hutan dunia dan di Indonesia kondisinya cenderung terus memburuk, yang dicerminkan terus terjadinya deforestasi atau kerusakan dan hilangnya hutan di berbagai belahan di dunia,” paparnya yang merupakan Deputy Coordinator, Division Forest Policy and Economics, IUFRO.
Dari data, 10 juta hektar hutan dunia hilang setiap tahunnya. Di Indonesia, angka deforestasi mencapai sekitar 400 ribu hektar per tahun.
“Ini tidak berarti penelitian dan inovasi-inovasi yang telah dilakukan kurang bermanfaat. Adakalanya, ini sudah menjadi ranah pengambil kebijakan yang kurang tertarik mengimplementasikan hasil penelitian dan inovasi yang ada karena mempunyai prioritas lain,” katanya.
Ahmad kemudian mengungkap, pelestarian hutan adat bisa memberikan nilai ekonomi lebih.
Dia tidak menampik, nilai ekonomi dan pelestarian hutan sebagai dua hal yang selalu dipertentangkan.
Menurutnya, itu juga bukan hal yang aneh, karena memang selama ini kegiatan ekonomi kehutanan sering mengakibatkan kerusakan hutan.
“Namun, dalam 20 tahun terakhir terus dikampanyekan kemanfaatan ekonomi pelestarian hutan. Misalnya kemanfaatan untuk mendukung ekonomi rumah tangga masyarakat desa hutan. Ada juga manfaat jasa lingkungan yang terus diupayakan,” katanya.
“Contohnya, dalam 2 dekade terakhir, pelestarian hutan yang dapat menyimpan karbon, diupayakan ada nilai ekonominya. Ada berbagai upaya untuk mendorong perdagangan karbon dalam konteks pencegahan perubahan iklim,” jelas Ahmad melanjutkan.
Baca juga: Genjot Angka Vaksinasi, Polres Magelang Sasar Jemaah Tarawih di Lereng Gunung Sumbing
Lantas, apa yang yang bisa dilakukan anak muda untuk ikut melestarikan hutan?
Dia menjawab, generasi muda bisa menjadi stakeholder yang penting untuk melestarikan hutan.
Mereka dapat menjadi bagian dari upaya untuk meningkatkan kesadaran masyarakat luas mengenai berbagai permasalahan kehutanan dan pentingnya pelestarian alam.
“Mereka pun bisa menjadi duta-duta bagi penyelamatan alam dan hutan dan tentunya mereka harus menjadi bagian integral pelestarian hutan dengan turun langsung ke lapangan, dengan banyak menanam pepohonan, contohnya,” jelas dia.
Baca juga: Genjot Angka Vaksinasi, Polres Magelang Sasar Jemaah Tarawih di Lereng Gunung Sumbing
Disinggung mengenai peran pemerintah, meski deforestasi masih terjadi, kini regulator sudah banyak melakukan upaya pelestarian hutan.
Sebab, saat ini, sudah semakin banyak hutan yang distatuskan sebagai kawasan konservasi atau perlindungan.
“Sekitar 50 juta hektar hutan Indonesia dialokasi untuk fungsi itu. Selain itu, angka deforestasi yang tadi saya sebutkan sekitar 400 ribu hektar tergolong yang paling rendah dalam 20 tahun terakhir,” tuturnya.
Ahmad menyatakan, tugas pemerintah masih cukup banyak untuk bisa menjamin pengelolaan hutan berkelanjutan, untuk mensinergikan tujuan ekonomi dan konservasi, dan tujuan sosial pensejahteraan masyarakat desa hutan.
“Pemerintah saat ini cukup agresif dalam mendorong perhutanan sosial dan juga upaya legalisasi hutan adat, dengan tujuan utama pelestarian hutan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Pemerintah menjanjikan lebih dari 12 juta hektar untuk program-program tersebut. Namun memang yang belum sepenuhnya mencapai tujuan-tujuan yang diharapkan,” tandasnya. (Ard)