Berita DI Yogyakarta Hari Ini

Ini Tanggapan Pakar Hukum UGM dan JPW Soal Penghapusan Kata Klitih

Polisi menilai penggunaan kata klitih adalah salah kaprah. Kata klitih menurutnya bermakna jalan-jalan sore tanpa tujuan sembari mengobrol.

Penulis: Miftahul Huda | Editor: Gaya Lufityanti
TRIBUNJOGJA.COM / Suluh
Ilustrasi Klitih 

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Semenjak tewasnya pelajar asal Kebumen berinisial D (18) karena disabet menggunakan gir saat melintas di Jalan Gedongkuning, Kotagede, Kota Yogyakarta, Polisi meminta awak media untuk tidak lagi menggunakan kata "klitih" apabila terjadi aksi kejahatan jalanan tanpa motif yang jelas.

Permintaan penghapusan kata klitih juga ditujukan kepada masyarakat luas.

Ajakan itu disuarakan oleh Kabid Humas Polda DIY Kombes Pol Yuliyanto.

Direktur Reserse Kriminal Umum (Direskrimum) Polda DIY Kombes Pol Ade Ary Syam Indradi juga menilai penggunaan kata klitih adalah salah kaprah.

Kata klitih menurutnya bermakna jalan-jalan sore tanpa tujuan sembari mengobrol.

Baca juga: Klitih di Yogyakarta, Kriminolog UII : Utamakan Tindakan Pencegahan daripada Penanganan

Merespon hal itu, Kadiv Humas Jogja Police Watch (JPW) Baharuddin Kamba mendesak kepada pihak kepolisian untuk segera menangkap para pelaku kejahatan jalanan ini. 

Jika tidak segera ditangkap maka dikhawatirkan kasus serupa terjadi kembali dan menambah keresahan masyarakat Yogyakarta.

Selain itu, JPW mengingatkan kepada pejabat diinstitusi kepolisian Polda DIY untuk tidak memperdebatkan atau mempersoalkan istilah klitih

"Itu justru tidak subtansi dan tidak produktif. Karena ada hal yang lebih dari itu adalah penanganan, pencegahan dan segera menangkap pelaku klitih itu sendiri. Serta harapannya adalah hukuman atau vonis maksimal terhadap pelaku kejahatan jalan atau klitih ini," kata Kamba, Jumat (8/4/2022).

Selain mengingatkan terkait produktifitas jajaran kepolisian Polda DIY mengungkap kasus klitih dan kejahatan jalanan, secara nasional dirinya mendorong agar pemerintah merevisi UU Perlindungan Anak, khususnya yang mengatur tentang anak di bawah umur berhadapan dengan hukum (pelaku pemerkosaan/pembunuhan seperti kasus klitih) dan dilakukan secara berluang agar ancaman pidananya diperberat.

"Diluar hukuman pidana mungkin pula perlu diatur soal sanksi sosial. Di mana, sanksi sosial bagi pelaku klitih setelah menjalani hukuman diberikan di tempat tinggalnya. Karena pelaku klitih yang mengakibatkan korban luka berat bahkan meninggal dunia itu jahat banget," ungkapnya.

Baca juga: Bahas Pergeseran Makna Klitih Dinilai Buang-buang Energi, Jogja Police Watch: Fokus ke Penanganan

Selain itu, razia rutin ditempat yang diduga rawan terjadinya klitih menurutnya perlu  dilakukan rutin termasuk penambahan CCTV diberbagai titik rawan kejahatan.

Dari kalangan akademisi, Pakar Hukum Universitas Gajah Mada (UGM) Profesor dr Sigit Riyanto SH Il.m menganggap, seruan jajaran kepolisian untuk menghilangkan istilah klitih merupakan sikap reaktif.

Artinya jika hanya sekedar langkah reaktif saja, maka tidak akan banyak berdampak dengan apa yang terjadi di masyarakat.

"Peniadaan istilah klitih itu langkah reaktif saja. Kalau sekedar langkah reaktif itu gak akan banyak berdampak," katanya.

Sementara yang masyarakat perlukan adalah rasa aman saat berada di luar rumah.

Sigit memberi saran, para pemangku kebijakan dan aparat penegak hukum harus mencari langkah-langkah yang kreatif untuk mencegah anak-anak muda berlaku kriminal.

Misalnya dengan menambah ruang kreatif untuk menyalurkan potensi anak-anak muda di Yogyakarta .

"Karena dari langkah itu masalahnya itu bisa didekati dari berbagai sisi. Kalau hanya langkah-langkah reaktif saja ya gak pernah selesai," tegas dia.

"Preventif iya, represif juga perlu supaya ada efek jera. Karena ini bukan hanya untuk hari ini saja. Kita akan selalu mengulangi berdebat bahasa, padahal dalam tanda kutip kita tahu kunci penyelesaian klitih," imbuhnya.

Baca juga: Marak Fenomena Klitih di Yogyakarta, Ridwan Kamil Bandingkan dengan Penanganan Geng Motor di Bandung

Dari segi hukum, Sigit menegaskan, masyarakat perlu diberikan ketenangan berupa shock terapi terhadap pelaku kejahatan jalanan.

"Kalau pelaku sudah membahayakan apalagi nyawa menghilang, harus ditangkap, diproses hukum secara transparan. Memang ada diskresi pidana anak. Tapi proses itu harus transparan," tegas Sigit.

Terkait perlunya merevisi UU Perlindungan Anak yang mengatur sanksi pidana bagi anak berhadapan hukum, menurutnya itu sulit dilakukan.

"Karena itu berlaku nasional. Sementara kejahatan jalanan oleh anak remaja tidak semua wilayah dijumpai. Surakarta gak ada, Solo gak ada, ya tidak sulit dilakukan karena maraknya hanya di Jogja," terang dia.

Sigit juga berpesan dari segi administratif, Pemerintah DIY maupun Kabupaten/Kota perlu memperdulikan anak-anak remaja dengan cara menciptakan ruang kreatif lebih banyak.( Tribunjogja.com )

Sumber: Tribun Jogja
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved