Kurikulum Merdeka Resmi Diluncurkan, Pakar Pendidikan UNY: Masih Ada Kesulitan dalam Implementasi
Kurikulum Prototipe resmi diluncurkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) RI, Nadiem Makarim, dengan nama kurikulum merdeka
Penulis: Ardhike Indah | Editor: Muhammad Fatoni
Laporan Reporter Tribun Jogja, Ardhike Indah
TRIBUNJOGJA.COM, SLEMAN - Kurikulum Prototipe resmi diluncurkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) RI, Nadiem Makarim, Jumat (11/2/2022) dengan nama Kurikulum Merdeka.
Kurikulum tersebut, dikatakan Nadiem, akan memberikan fleksibilitas terhadap pembelajaran. Sebelumnya, sudah ada 2.500 sekolah penggerak di Indonesia yang mengikuti uji coba kurikulum prototipe tersebut mulai bulan Juli 2021.
Pakar Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Dr Ali Muhtadi MPd menjelaskan, Kurikulum Merdeka ini memiliki landasan nilai yang bagus.
“Akan tetapi, dalam tataran implementasi, guru kita ini kan biasa disuapi. Jadi, apabila segera diterapkan, tanpa pelatihan yang terpadu, maka mereka relatif agak kesulitan,” ungkap Ali kepada Tribun Jogja, Senin (14/2/2022).
Dia menjelaskan, kurikulum tersebut memang sudah diujicobakan sejak Juli 2021 di Indonesia. Dari hasil uji coba itu, menurut hasil penelitiannya, para guru masih memiliki implementasi berbeda.
Hal ini karena dalam pelatihan, guru harus mandiri. Mereka diberi panduan video yang dipelajari sendiri.
Sehingga, setiap individu memiliki implementasi berbeda, tetapi mereka harus segera menerapkan kurikulum tersebut.
“Dari penerapan kurikulum ini, terlihat guru-guru berusia lanjut kurang bisa mengikuti. Mereka semacam disuruh istirahat dulu dan semua pekerjaan diambil guru muda. Itupun kalau guru mudanya cukup,” katanya.
Dilanjutkannya, di tahun 2021, ketika awal kurikulum prototipe diujikan, tim pendamping sekolah masih belum siap untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan dari guru.
“Semoga di 2022 ini sudah melibatkan perguruan tinggi untuk jadi tim pelatih ahli. Jadi, saat guru merasa kesulitan dan bertanya ke tim pelatih, jawabannya bisa didiskusikan di forum,” ungkap Ali yang merupakan Koordinator Program S2 Program Studi Teknologi Pembelajaran UNY itu.
Ditambahkannya, saat kurikulum mulai diterapkan secara luas, maka energi sekolah akan dihabiskan untuk melatih potensi guru.
“Pelatihan itu agar semua guru mengerti, sambil melaksanakan kurikulum di kelas tertentu, yang lain dilatih terus khususnya untuk pengelolaan proyek bermuatan Pancasila,” tuturnya.
Salah satu hal yang juga ia kritisi dalam penyusunan kurikulum operasional itu adalah Kemendikbud hanya menyusun kerangka dan capaian dari pembelajaran saja.
Capaian pembelajaran berasal dari materi esensial yang diajarkan kepada murid. Namun, capaian tersebut tidak dikembangkan oleh pakar dan ini perlu dipertanyakan.
“Capaian itu dikembangkan beberapa guru dan belum divalidasi, padahal itu dipakai acuan. Ke depan semoga segera melibatkan masukan ahli atau forum ahli. Apakah capaian ini sudah esensial atau belum,” terang Ali.
Ia mengungkap, di awal tahun 2022 ini belum menjadi masalah apabila Kurikulum Merdeka sudah diterapkan di beberapa sekolah.
Sebab, sebagian besar sekolah juga masih menerapkan Kurikulum 2013.
“Di satu sekolah itu kan hanya beberapa kelas saja yang menerapkan, misal SD itu untuk kelas 1 dan 4, SMP kelas 7 dan SMA kelas 10. Makanya, sekolah masih dipersilahkan untuk memilih, mau menggunakan kurikulum mana,” tuturnya.
Saat ini, sekolah memang masih diberi keleluasaan untuk memilih kurikulum yang mau diterapkan, seperti Kurikulum 2013, Kurikulum Darurat ataupun sekaligus Kurikulum Merdeka.
“Pas penerimaan siswa baru, bisa dilihat ini capaian pembelajaran dan gabungan sekolah penggerak serta Kurikulum 2013. Sekolah yang menerapkan Kurikulum Merdeka, saat ini, tentunya masih pakai Kurikulum 2013 kog,” terangnya.
Disinggung mengenai waktu ideal untuk mengimplementasikan Kurikulum Merdeka, Ali mengatakan, setidaknya butuh waktu 10 tahun lebih agar kurikulum ini bisa diikuti setiap sekolah hingga di pelosok negeri.
“Kita berkaca pada Kurikulum 2013 ya. Di kurikulum itu, butuh waktu 2-3 tahun bisa diimplementasikan untuk sekolah di kota. Kalau di pelosok ya kurang lebih 7 tahun. Nah, karena ini kurikulum mandiri, paling tidak 10 tahun lebih ya agar bisa diterapkan di semua sekolah,” tukasnya. (*)