Feature
Kisah Para Komikus Hadapi Pandemi dan Era Digital di Yogyakarta
Pandemi Covid-19 dan datangnya era digital menjadi tantangan baru untuk para pelaku industri kreatif.
Penulis: Rento Ari Nugroho | Editor: Iwan Al Khasni
Pandemi Covid-19 dan datangnya era digital menjadi tantangan baru untuk para pelaku industri kreatif. Tak hanya harus menyesuaikan diri, mereka juga harus menemukan cara baru untuk bertahan atau berkembang. Demikian pula apa yang dihadapi oleh para komikus alias kreator komik di Yogyakarta.

DATANGNYA pandemi mengubah situasi dan pasar. Bila biasanya acara pameran komik, bursa komik, atau festival kebudayaan menjadi senjata ampuh untuk memasarkan produk, yang sebagian masih berupa komik indie, pandemi melanda dan memaksa nyaris semua aktivitas harus dilakukan di rumah.
Demikian pula datangnya era digital. Bila dulu orang yang ingin membaca komik harus membaca melalui media buku, kini tidak lagi. Hadirnya internet membuat komik bisa diakses di dunia maya. Hal ini mendatangkan kesempatan, sekaligus tantangan.
Beberapa hal diatas menjadi bahasan hangat dalam Focus Group Discussion yang digelar Sarekat Dagang Komik (SDK), sebuah komunitas komikus yang aktif sejak 2016. Diskusi yang digelar di kawasan Suryodiningratan, Mantrijeron, Kota Yogyakarta pada Sabtu-Minggu (4-5/12/2021) ini menghadirkan sebagian besar anggota SDK.
Beberapa komikus yang namanya melanglang buana di level nasional hingga internasional nampak hadir.
Misalnya saja Muhammad Fathanatul Haq yang lebih dikenal dengan Matto, kreator "Koel" dan "Pupus," Kurnia Harta Winata, komikus "Anak Kos Dodol Dikomikin," Kharisma Jati, hingga Terra Bajraghosa yang sudah aktif di komik baik sebagai praktisi dan akademisi.
Kharisma Jati melemparkan bahasan yang mendapat respons cukup hangat yakni bagaimana komikus berkarya di era digital. Di media sosial saat ini, tak sulit menemui komikus yang sukses mendapat apresiasi di media sosial.
Banyak komik berkualitas yang bisa dibaca secara gratis, kebanyakan adalah komik strip. "Namun terkadang, cukup sulit mendapat perhatian dari pembaca di dunia maya," katanya.
Algoritma memang menjadi tantangan baru sekaligus tak bisa diremehkan untuk para komikus, utamanya yang masih merintis jalan, untuk meraih perhatian warganet. Maklum saja, karya di media digital belum seoptimal komik cetak dalam memberikan penghasilan.
Endorse dari akun media sosial yang ramai masih menjadi pemasukan utama. Karenanya, ramainya atensi dari netizen tentu menjadi sesuatu yang dituju.
Jibaku
Sementara itu, para komikus yang telah mapan juga berjibaku dengan ketatnya persaingan di platform digital. Banyaknya karya baru yang hadir, tentu tak dapat disepelekan.
Sementara itu, Muhammad Tamam memaparkan tentang pandemi yang berdampak pada dunia komik. Bila dulu para komikus yang merintis jalan di komik profesional memasarkan karyanya di pameran, festival, hingga pasar komik, semuanya harus terhenti karena pandemi.
"Pasar komik dan event sejenis, memang sangat membantu untuk memasarkan komik. Ini berbeda dengan membeli komik lewat lokapasar. Ada semacam kegembiraan bila bisa bertemu dengan komikusnya langsung," ungkapnya.
Sebagai praktisi dan akademisi, Terra Bajraghosa juga mengapresiasi kegigihan para komikus yang bertahan di tengah pandemi. Menurutnya, baik komik cetak maupun digital masih bisa berjalan seiring. Kebanyakan komikus sudah menemukan cara untuk menerbitkan karyanya sendiri tanpa harus melalui penerbit.
"Namun karena semuanya serba terbatas dan umumnya dikerjakan sendiri, seringkali kelemahannya ada pada penyuntingan. Namun di sisi lain itu menjadi sesuatu hal yang menjanjikan," paparnya.
Seiring dengan naiknya produk audio visual di media digital juga menjadi sorotan. Komikus Zia Ulhaq berpendapat, ketika media digital sudah begitu dominan dan tak terhindarkan, maka alternatif yang bisa ditawarkan adalah komik cetak menjadi produk yang bisa dikoleksi.