Kasus Guru Rudapaksa Santriwati di Bandung, Kuasa Hukum Ungkap Sikap Terdakwa di Persidangan
Kuasa hukum terdakwa Herry Wirawan, Ira Mambo, mengatakan selama berlangsungnya persidangan, kliennya bersikap kooperatif.
Penulis: Tribun Jogja | Editor: Iwan Al Khasni
Tribunjogja.com Bandung = Kasus guru pesantren yang diduga merudapaksa 12 santriwati tersebut membuat masyarakat geram. Rupanya, aksi Herry Wirawan, guru ngaji bejat itu, sudah berlangsung sejak tahun 2016-2021.
Kuasa hukum terdakwa Herry Wirawan, Ira Mambo, mengatakan selama berlangsungnya persidangan, kliennya bersikap kooperatif.
"Kalau selama persidangan, terdakwa tidak banyak membantah atau banyak membenarkan bahwa peristiwanya seperti yang terjadi. Kami PH (penasihat hukum) bukan melulu membabi-buta membela terdakwa. Memang sesuai dengan fakta persidangan," ujarnya kepada wartawan, Kamis (9/12/2021) dikutip dari Tribunjabar.
Ira mengaku kuasa hukum belum bisa memberikan keterangan mendalam berkaitan dengan perkara rudapaksa terhadap belasan santriwati yang dilakukan Herry Wirawan. Sebab, perkara saat ini sudah masuk ke dalam proses persidangan.
"Mengenai pokok perkara yang didakwakan terjadinya perbuatan asusila itu. Kami tetap masih tidak bisa memberikan informasi lebih dalam karena secara detailnya itu masih dalam praduga tak bersalah. Kami PH tetap akan mengacu pada fakta persidangan dan nanti pemeriksaan keterangan dari saksi. Perkara asusila ini lebih jelasnya itu nanti di putusan," ucapnya.
Ira menuturkan perkara ini masih dalam tahap pemeriksaan saksi-saksi, dan sudah ada 40 saksi yang diperiksa.
"Jadi persidangan sudah memeriksa 40 saksi, itu termasuk korban, termasuk juga orangtua korban. Para korban didampingi juga lembaga sosial perlindungan anak, dan ada juga dari dinas. Kemudian kita juga tetap memenuhi prosedural bahwa pada intinya memang ini kan masih proses pembuktian atau belum pada pokok perkaranya," ujarnya.
Ira menambahkan, dalam persidangan nanti, pihaknya mengkaji apakah akan mengajukan saksi yang dapat meringankan, hingga menggunakan ahli atau tidak. Hal itu tergantung jalannya proses persidangan.
"Jadi memang ada hak kami nanti di bagian terdakwa, untuk menghadirkan saksi yang dapat meringankan dakwaan atau perlu menghadirkan ahli. Tapi karena ini belum tuntas, maka ketika di proses persidangan, jaksa menilai sudah cukup, tentu kami tidak akan menghadirkan ahli. Mengenai saksi yang meringankan, maka kami harus menanyakan dulu ke terdakwa dan kayaknya kalau sekarang ditanyakan juga masih belum efisien karena harus komprehensif," katanya
Berikut rangkuman kasus itu dirangkum Tribunjogja.com dari Tribunjabar
Pertama kali terungkap
Perilaku Herry Wirawan, guru ngaji yang merudapaksa belasan santriwati, pertama kali diketahui oleh keluarga korban yang melihat anaknya tengah mengandung.
Kemudian keluarga korban melaporkan hal tersebut ke kepala desa lalu melaporkan ke Polda Jabar.
"Ini kebongkarnya oleh seorang ibu yang anaknya disana, yang melihat ada perubahan dalam tubuhnya lalu melaporkan ke kepala desa," ungkap Diah.
AN (34), salah satu keluarga korban yang berasal dari Kecamatan Pameungpeuk, Kabupaten Garut mengungkapkan modus bejat pelaku.
Ia menuturkan, pihak keluarga tidak pernah mengetahui korban tengah dalam masalah lantaran setiap kali korban pulang ke rumah tidak pernah berkomunikasi karena korban tertutup.
Pelaku pun kerap memaksa korban untuk segera kembali ke pondok pesantren jika sedang pulang ke rumah.
"Anak gak pernah lama di rumah, lebih dari tiga atau lima hari si pelaku Herry langsung nelpon, dia nyuruh kembali ke pondok," ujarnya saat diwawancarai Tribunjabar.id, Kamis (9/12/2021).
Pelaku diketahui tinggal seorang diri di dalam pesantren tersebut, sementara pengajar lainnya tinggal di rumah masing-masing.
AN menjelaskan, pihak keluarga pun pernah bertanya-tanya dengan aturan ketat yang diberlakukan pesantren milik pelaku.
"Kenapa sih kok ketat banget, tapi ya saat itu tidak berburuk sangka, ketat mungkin aturan yang udah diberlakukan oleh pihak pesantren," ucapnya.
Menurutnya, keluarga memilih pesantren tersebut lantaran menawarkan pendidikan gratis.
Tawaran pendidikan gratis tersebut tanpa pikir panjang dipilih lantaran keluarga korban tidak cukup mampu untuk menyekolahkan anaknya.
"Sekolahnya gratis itu, kami pilih pesantren tersebut karena ekonomi kami menengah ke bawah," ungkap AN.(*)
Bayi hasil tindakan bejat pelaku diasuh orang tua korban
Ketua P2TP2A Kabupaten Garut, Diah Kurniasari mengatakan 8 dari 11 santriwati yang menjadi korban rudakpaksa tersebut seluruhnya telah melahirkan.
"Selama enam bulan ini semuanya sudah lahir, tadi saya lihat di tv masih disebutkan dua korban masih hamil, tidak, sekarang semua sudah dilahirkan," ujarnya saat menggelar jumpa pers di Kantor P2TP2A Kabupaten Garut, Kamis (9/12/2021) malam.
Ia menuturkan, saat ini seluruh bayi tersebut sudah dibawa oleh orangtua korban.
Sementara korban saat ini masih menjalani trauma healing di rumah aman P2TP2A.
"Bayinya semuanya sudah ada di ibu korban masing-masing," ucapnya.
Trauma healing yang dilakukan P2TP2A tidak hanya dilakukan kepada korban rudakpaksa, namun juga diberikan kepada orangtua korban.
Diah menjelaskan, sejak awal pihaknya sudah mempersiapkan korban untuk siap jika suatu saat masalah mereka terkuak ke publik.
"Kondisi korban saat ini Insya Allah sudah lebih kuat, kami sudah jauh-jauh hari mempersiapkan mereka selama ini untuk siap mengahadapi media," ucapnya.
Korban, menurutnya, masih terikat persaudaraan dengan korban lainnya karena sebelumnya saling ajak untuk bersekolah di pesantren tersebut. Rata-rata umur korban berusia 13 hingga 15 tahun.